Minggu, 01 Februari 2009


Aku Bukan Pejabat,
Tapi Seorang
Sahabat

Kado Kenangan Buat Siantar Ku

Matahari terbit di ufuk timur menyinari bumi yang berputar seiring tanpa melalaikan sedetik pun rotasi jarum waktu. Sebuah kata pujian terucap rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah membentangkan hamparan bumi dengan gunung tinggi sebagai tiangnya, sungai dan laut sebagai penyuburnya dan daratan yang luas dengan segala isi ciptaan-Nya. Semua ini terjadi atas Kuasa-Nya yang setiap hari kita rasakan dan jalani selaras dengan denyut nadi, jantung dan jam kehidupan. Karunia-Nya tak akan bisa kita bayar kecuali wujud penghambaan diri kepada-Nya dengan sadar, tulus, ikhlas dan rendah diri.

Semua ini dilalui tanpa terasa 15 bulan sudah aku jejakkan tapak kaki ini di sebuah kota tempat aku mengabdi kepada Negara sebagai penegak hukum, pengayom dan pengabdi masyarakat. Di kota itu, berjuta pengalaman, kenangan dan cita berpadu dalam sebuah memoriam betapa diri ini telah menyatu dalam rajutan persahabatan. Tatkala ku alurkan fikiran ini, mereka merespon ku. Tatkala ku langkahkan kaki ini, mereka menyambut ku. Manakala ku lepaskan seluruh eksistensi ku, mereka menyapa ku dengan sapaan sahabat. Tak ku hitung berapa sudah waktu, fikiran dan tenaga yang teruai, sebab semua itu sangatlah tidak pantas untuk di hitung. Tetapi berjuta kenangan nyaris terhitung bersama warga, karena kenangan inilah yang pantas ku hitung.

Oh Siantar ku !! Darah yang setitik, rambut setiap helai, jantung yang berdetak dan dengusan nafas kehidupan menemani ku dalam suka, duka, durja dan canda tawa. Walau aku jauh dari keluarga ku, tapi Siantar ku selalu menemani tugas ku. Kau lah sahabat ku, mitra kerja ku, saudara ku, guru ku dan inspirasi ku.

Walau aku pernah menyapa mu dalam tugas waktu dulu (saat itu Kaur Regiden Satlantas Polres Simalungun 1999 – 2002) tapi tatkala aku kembali ditugaskan di tahun 2007-2008 (Wakapolresta P Siantar) kau telah menyentuh kalbu ku. Kau ajak aku pada pagi yang menggairahkan dengan dinamika Siantar, tapi kau hembuskan angin malam dengan kesejukan dan keakraban. Kita melebur menjadi satu kekuatan yang memberangus kehampaan dan kepura-puraan karena kita landasi dengan niat keikhlasan.

Siantar bagaikan Medan kota kelahiran ku tempat berkumpul keluarga, sahabat, guru dan siapa saja. Sulit aku bedakan walau akhirnya aku harus jujur membedakannya, bahwa Siantar adalah Siantar, Medan ya tetap Medan .

Ku sadari, fikiran ku kacau ketika ku paksakan diri ini berpisah dari mu. Jantung ku lemah dengan denyut nadi yang tak normal, sebab aliran darah persahabatan kini teruji dipisah oleh ruang dan waktu. Kaki ku gemulai meninggalkan kenangan Siantar yang telah kita rajut bersama-sama. Dada ku sesak, bibir bergetar berat seiring dengan geraian air mata yang mulai menumpuk di dua bola kornea mata ku. Tubuh besar ku gemetar bagai kehilangan energi hidup yang mengiris-iris seluruh persendian anatomi ku. Dalam bathin ini aku menangis sembari ku sisipkan doa ;
“Ya Tuhan, aku bersyukur atas anugrah dan karunia Mu, ku tundukkan kepala ku hanya semata menyembah Mu. Ku tengadahkan tangan ku hanya semata bermunajat atas keridhaan Mu. Ku geraikan persaaan ku, karena kepada Mu lah tempat ku mengadu”.

“Ya Tuhan, aku hina karena Engkau Penguasa. Aku bukan penguasa, sebab aku manusia durja di mata Mu. Aku bukan pejabat, tapi aku sahabat mereka. Aku adalah mereka, sebab mereka adalah aku. Jangan kau cabut ridho Mu, sebab aku terus merindukan ridho Mu”.

Masih ku ingat bekas piring sarapan pagi ku di warung Kok Tung, gelas air minum ku di warung pinggiran yang ditaburi abu jalanan, kolam pancing tempat ku berdialog dengan alam dan tempat mejeng ku bersama teman-teman Bikers Mitra Polri (BMP) dengan sepeda motor butut tua merk Honda C-90 rakitan tahun 1970-an.

Sulit ku lupa “tamparan” kritis sahabat ku yang mereka tuliskan melalui tinta pena jurnalisme. Mereka “dor” aku dengan senapan jurnalisnya, mereka tampilkan foto ku bagaikan aku seorang bintang Hollywood kelahiran Anak Medan. Mereka tulis prestasi institusi ku dengan jiwa persahabatan dan keikhlasan. Mereka protes aku dengan suaranya yang kritis, sok tahu dan sedikit lantam tapi aku suka.

Renyuh hati bila ingat saat aku nyantri bersama warga dan sahabat ku di sebuah pesantren yang mengajarkan kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan. Sungguh sebuah tampilan hidup yang menggambarkan kehidupan surgawi yang diajarkan guru ku pimpinan pesantren Darussalam KH Muhammad Bakri LC (yang akrab kami sapa Abun). Ulama kharismatik ini memiliki stereotype yang rendah hati, bersahaja, wara’, berani dan cerdas. Dada ku basah karena disirami kalimah zikir yang diajarkannya, otak ku encer dibaluti rentetan pertimbangan yang rasional darinya. Begitulah Abun ku hormati yang selalu menasehati kata hikmah menghujam persis tepat ke sanubari ku.

Masih teramat banyak bila ku uraikan jutaan kenangan Siantar ku. Tinta pena ini pastilah tidak cukup bila seluruhnya tumpah dalam gundah ku. Tetapi ku yakini bahwa setiap huruf yang keluar dari bibir pena tersimpan cerita indah yang ku simpul dalam resapan hati ku ini.

Jujur saja, hati berat menerimanya, tetapi aku harus tunduk dan patuh kepada Negara. Sebab Negara adalah milik kita, harapan dan masa depan kita. Kota tidak memisahkan persahabatan kita, sebab kota hanya memisahkan ruang dan waktu saja. Aku harus memenuhi tugas baru yang dipercayakan Negara kepada ku. Aku kembali ke kota kelahiran ku demi memenuhi rasa abdi ku kepada Negara. Bila jembatan hati ini terus terajut maka kita dapat menembus ruang dan waktu yang terpisah ini. Jembatan hati yang kita rajut bagaikan anyaman kain dipintal dengan jutaan helai benang. Semakin dirajut semakin kuat, padat dan indah, apalagi di hiasi dengan sentuhan persahabatan dengan corak warna kelembutan fikir dan zikir.

Siantar ku !! Tetaplah kita berfikir melahirkan inovasi yang berguna bagi peradaban kota , dan selalulah berzikir agar keridhaan Tuhan menyertai inovasi fikir kita. Jika kita selalu menggunakan fikir dan zikir, ruang dan waktu itu pasti akan menyatukan kita kembali.

Kita tidak boleh larut dalam kesedihan, sebab kesedihan yang larut menjadi penghalang gerak perjuangan. Perjuangan kita masih panjang demi mengabdi pada agama, nusa bangsa dan Negara. Mari kita jaga kota dengan kedamaian, keakraban dan rasa saling menghargai tanpa harus melukai sekalipun tajam terkatakan. Terimakasih Siantar ku, sahabat ku, mitra ku, saudara ku dan salam hormat buat guru ku. Inilah kado terindah yang bisa ku ucapkan sebagai bentuk kenangan bersama Siantar ku. Kini ku yakni diri ku, dan kau pun telah meyakini ku, bahwa Aku Bukan Pejabat, Tetapi Seorang Sahabat.

Drs. Safwan Khayat M. Hum
*PENULIS, Alumni SMA Neg.I Medan, UMA dan Dosen UMA, Alumni Pasca Sarjana USU, Mantan Kasatlantas Poltabes MS, Mantan Wakapolresta P Siantar. Email; safwankhayat@yahoo.com.

1 komentar:

Muhammad Syafi`i Tampubolon mengatakan...

salam kenal brader, mampir di blog ku yah: http://tampubolon-mesir.blogspot.com/