Senin, 15 Desember 2008

Krisis Global


Krisis Global, Kita Harus Bisa Menahan Diri

Oleh: Drs Safwan Khayat M.Hum


Puluhan, ribuan dan mungkin jutaan nasib tenaga kerja di belahan dunia hanya bisa pasrah andai saja perusahaan tempat mereka bekerja terkena bias krisis ekonomi global di penghujung tahun 2008 ini. Kinerja dan prestasi para buruh/karyawan mulai terganggu akibat hempasan krisis global yang melanda perekonomian masyarakat dunia. Hayalan, harapan dan kenyataan berkecamuk andaikan nasibnya harus kehilangan pekerjaan yang selama ini sebagai fondasi ekonomi. Pekerjaan hilang, maka hilang pula pendapatan. Pendapatan hilang, pupuslah harapan dan tujuan. Pekerjaan dan pendapatan hilang, terancamlah masa depan yang terbunuh oleh sebuah tekanan krisis global yang menyisakan kekecewaan. Pelaku usaha kewalahan karena tingginya beban pembiayaan yang tidak sebanding dengan penjualan. Untuk menjaga stabilisasi produksi, perusahaan melakukan penghematan dengan mengurangi biaya produksi dan perampingan karyawan.
Sekalipun harga minyak dunia menurun tajam, krisis global terus berlanjut dengan tingginya suku bunga perbankan. Pelaku usaha kesulitan menghitung akses permodalan karena ketidakmampuan untuk mencicil hutang dengan bunga yang membengkak. Untuk bertahan, cara yang biasa dilakukan dengan menata penghematan melalui upaya penekanan pembiayaan dan mengurangi jumlah karyawan.
Di dalam negeri, dampak krisis global mulai menunjukkan pengaruhnya terutama pada kondisi keuangan (moneter) dan daya tahan pembiayaan perusahaan. Nilai kurs mata uang rupiah semakin terancam hampir mendekati Rp. 12.000/dollar. Bahan baku sulit di dapat yang disertai melambungnya harga beli. Situasi mulai bergerak ke arah kepanikan tatkala beberapa perusahaan mulai mengurangi jumlah tenaga kerjanya dengan modus pemutusan hubungan kerja (PHK). Suasana ini terus berlanjut diikuti munculnya aksi demonstrasi buruh/karyawan yang menuntut hak pekerjanya.
Meski belum besar, gelombang aksi demonstrasi akibat dari krisis global mulai bermunculan. Pemerintah kini mulai mengambil langkah-langkah guna mengantisipasi meningkatnya gelombang aksi demonstran yang pernah terjadi di Negara kita di tahun 1997. Ancaman PHK terus menghantui buruh/karyawan yang bisa berakhir dengan tangisan duka, kekecewaan, kerawanan dan keamanan. Kehilangan pekerjaan dapat merusak dimensi kemanusiaan yang dapat bersikap brutal dan kasar.
Tulisan ini ungkapan secercah atas fenomena krisis global yang harus disikapi dengan kelembutan tanpa panik. Kelembutan biasanya berakhir dengan kedamaian yang menjadi modal sosial bagi kita untuk menjaga keamanan. Kepanikan pasti berakhir dengan kemarahan dan kekerasan yang berujung lahirnya tindakan menyimpang merusak tatanan nilai kemanusiaan.

Menahan Diri
Terasa sulit bagi setiap orang menerima sebuah kenyataan di luar jangkauan keinginan. Apalagi hancurnya usaha dan kehilangan pekerjaan menjadi beban mental yang cukup berat untuk ditanggung. Beratnya beban biaya hidup dan tingginya biaya pendidikan menjadi beban yang harus ditalangi tanpa bisa ditunda. Kepanikan wajar terjadi karena ruang harapan dan kenyataan bersinggungan tanpa saling melengkapi. Jika kita tidak mampu menahan diri, tindakan konyol semakin menambah daftar persoalan diri yang sepatutnya harus dijauhi.
Buat bangsa kita, krisis ekonomi bukanlah suasana yang baru. Beberapa fase krisis pernah kita lalui seperti tahun 1950-1960-an, 1997-1998 dan 2008 ini. Pada tahun 1950-1960-an, negara kita pernah mengalami resesi ekonomi setelah melepaskan diri dari penindasan bangsa kolonialis. Gejolak politik dan ekonomi merubah kondisi negara kita untuk bangkit mengisi kemerdekaan yang terbelenggu oleh penjajahan. Situasi bangsa cukup kacau, ekonomi sulit, instabilisasi terjadi dan ancaman disintegrasi mendesak kesatuan bangsa kita. Belum lagi selesai kasus internal politik akibat gerakan sparatis dengan sejumlah aksi pemberontakan, aksi demonstrasi terus bermunculan hingga meriuhkan situasi sosial bangsa ini.
Di tahun 1997-1998 pasca jatuhnya regim Orde Baru, suasana yang sama juga terjadi. Krisis ekonomi juga melanda bangsa kita yang berujung PHK besar-besaran, demonstrasi massal dan reformasi politik. Instabilisasi juga terjadi dan ancaman disintegrasi kembali terulang yang dipicu kuatnya sentiment politik-ekonomi terhadap regim yang sedang berkuasa. Keutuhan negara kembali dipertaruhkan yang hancur lebur oleh situasi sosial yang panik, brutal dan anarkis. Korban jiwa berjatuhan ditambah lagi hancurnya sejumlah bangunan fasilitas umum yang di rusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dari dua peristiwa ini (1950-1960-an & 1997-1998) harus menjadi pelajaran bagi kita dalam menyikapi krisis global di tahun 2008 ini. Bangsa kita jangan mengulangi suatu tindakan yang merugikan diri sendiri. Sikap menahan diri menjadi perilaku yang paling bijaksana untuk tetap menjaga hati dan fikiran memahami situasi krisis global ini. Sikap menahan diri ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya; menjaga emosi dengan selalu menyandingkan fikiran dan hati, melakukan penghematan pengeluaran ekonomi, membatasi pergaulan bebas yang menyimpang, meneguhkan ibadah yang kuat dengan kegiatan keagamaan dan selalu menoleh pengalaman masa lalu dengan mengambil manfaat.
Menahan diri berarti kita ikut menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) yang paling penting kita jaga. Tindakan brutalisme yang menjurus perilaku anarkis adalah wujud perilaku sia-sia yang merusak tatanan interaksi dalam ikatan sosial. Pengalaman masa lalu menjadi pelajaran penting bahwa hidup dalam suasana mencekam jauh dari ketenangan dan kedamaian. Bagi kita yang pernah merasakan dampak krisis ekonomi jangan mengulang sejarah kelam yang pernah singgah dalam catatan sejarah bangsa ini.
Krisis global bukanlah akhir dari kehidupan. Krisis global adalah hasil dari persekongkolan yang serakah menumpuk kekayaan dengan mengorbankan nilai fundamental kemanusiaan. Sejumlah kalangan yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan kapital (keuangan) dengan menganut azas ekonomi global menindas fondasi ekonomi dunia yang sepatutnya tidak perlu terjadi. Perilaku ekonomi kapital inilah yang menciptakan suasana menjadi buruk terutama terganggunya sistem ekonomi moneter, goncangan bursa saham dan rusaknya lalu lintas perbankan.
Perilaku solidaritas menjadi sikap yang paling santun kita lakukan dengan menjaga harmonisasi komunikasi dengan segenap elemen masyarakat. Kita mulai lebih waspada atas segala aksi yang menjurus makar yang merusak tatanan stabilisasi keamanan bangsa ini. Berfikir positif, berjiwa besar dan bertindak akomodatif adalah perilaku yang paling sesuai dengan selalu bersikap hidup hemat, cermat dan tepat. Mari kita pertahankan keutuhan, persatuan dan kesatuan sekalipun krisis global terus mencekam ekonomi bangsa kita.

Rabu, 26 November 2008

Duka Mangkubumi


Duka Mangkubumi dan Perubahan Kaum

Di malam yang hening dan sunyi dengan nyilur angin berhembus menusuk sum-sum nan dingin terbesit renyuhnya hati merasakan larutan duka saudara kita pada tragedi Mangkubumi. Di malam itu selepas menghambakan diri kepada sang Khaliq Tuhan Yang Maha Agung, aliran darah yang setitik, rambut yang sehelai menyatu dalam detak jantung dan fikiran tentang nasib masa depan mereka. Tragedi itu berakhir dengan kesedihan, kepedihan dan kepasrahan yang bermuara dengan sebutan Duka Mangkubumi.

Duka Mangkubumi menjadi duka kemanusiaan yang dirampas kejamnya si Jago Merah melahap dengan laparnya dengan membakar harta, cerita, cinta, angan dan masa depan. Gumpalan api yang lapar hanya menyisakan bangkai bangunan dan puing-puing kedukaan yang telah meluluhlantakkan area kawasan. Merahnya api seketika menghitamkan kawasan itu tanpa memperdulikan tatapan sedih dan ratapan pedih.

Tragedi ini adalah Duka Mangkubumi yang harus kita sambut dengan sikap kemanusiaan melalui uluran tangan yang ikhlas guna menjemput perhatian, semangat dan kesetiakawanan. Ratusan bahkan miliaran harta benda hilang, tetapi triliunan cita, harapan dan masa depan ikut terbakar. Masa depan suram, pendidikan anak terancam dan kegundahan mulai mencekam.

Di atas pusaran sajadah ke dua tangan ikut bertengadah dengan munajat doa agar dapat menyelimuti tidur mereka di malam itu. Cucuran air mata ikut meramaikan munajat doa kepada Tuhan Yang Maha Penyayang atas hamba-hamba-Nya. Ternyata, munajat doa tidak cukup menyelimuti nyenyaknya tidur mereka, sebab masih ada desakan lain yang harus dilakukan guna menghapus Duka Mangkubumi. Lalu kedua tangan ini meraih sebatang pena yang bergulir begitu cepat menetaskan goresan gagasan agar kita harus berubah.

Putaran jarum jam berpacu dengan cepatnya goresan pena sambil melemparkan secercah pertanyaan tentang tragedi itu. Apakah Duka Mangkubumi terbakar karena ditentukan manusia atau ketentuan Tuhan ? Bagaimana nasib mereka dan anak-anaknya? Apakah Duka Mangkubumi harus berakhir dengan seperti ini? Ataukah masih menyusul duka-duka berikutnya ?

Duka Mangkubumi adalah fenomena nyata bahwa kawasan padat peduduk ini menjadi sorotan bagi siapa saja. Daftar pertanyaan di atas hanya sebatas tajamnya pena mengejar fenomena itu tanpa bermaksud menimbulkan prasangka. Tetapi kita harus berfikir jernih bahwa setiap kesempitan pasti ada kelapangan, setiap kesulitan selalu ada jalan kemudahan, dan di antara itu pula segala sesuatu urusan hanya kembali kepada Tuhan Pencipta Alam.

Amal kebajikan harus kita rajut dalam ikatan persaudaraan dengan membangun jembatan hati di atas pilar kesetiakawanan. Jembatan hati menjadi lintasan kehidupan dalam melangkah dengan sebuah keniscayaan bahwa segala sesuatu hanyalah pinjaman yang dititipkan Tuhan kepada umat manusia. Duka Mangkubumi menjadi bagian dari proses sirkulasi kehidupan yang dinyatakan dalam ketentuan Iradat Tuhan bahwa segala sesuatu pasti kembali kepada-Nya. Sesuatu itu adalah apa saja yang kita miliki, rasakan dan nyatakan akan dituntut pertanggungjawaban dalam sebuah sidang akbar kemanusiaan pada akhirnya nanti. Perbuatan baik dan buruk akan di balas menurut kadarnya, begitu pula kezhaliman pasti dijawab Tuhan dengan kemurkaan. Na udzubillahi min dzalik!!

“Bagi orang yang melakukan suatu perbuatan baik, maka Tuhan membalas dengan yang baik, bagi mereka melakukan perbuatan buruk sekalipun mereka memiliki harta dan kekuasaan, maka mereka pasti menebus dirinya. Orang seperti ini Tuhan siapkan perhitungan yang buruk dan tempat kediaman mereka neraka Jahanam. Seburuk-buruk tempat adalah neraka Jahanam. (QS. Ar Radu; 18).

Perubahan Suatu Kaum

Kita perlu perubahan ke arah yang lebih baik guna mengurangi sifat ego diri yang terkadang membuat kita gagal dalam hidup. Perubahan itu yakni perubahan atas pola tindak, landasan berfikir, teknik pengambilan keputusan dan pola kepemimpinan. Perubahan itu harus syarat dengan sisi kemanusiaan sebagai wujud perilaku hukum berkeTuhanan dengan menjaga kemaslahatan alam. Jika kita gunakan Firman Tuhan dalam kitab suci yang Agung, perubahan itu sendiri sangat bergantung diri manusia.

“Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang melakukan perubahan. Apabila Tuhan menghendaki situasi buruk (kacau) kepada kaum itu, maka tidak ada yang dapat menolaknya, tidak ada yang bisa berlindung dari Dia”.(QS Ar Radu; 11)

“Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu nikmat yang telah dianugrahkanNya kepada suatu kaum, tetapi kaum itu yang merubah nikmat yang ada pada dirinya sendiri”. (QS Al Anfal 53)

Perubahan suatu proses meninggalkan atau melepaskan suatu keadaan menuju target-target kehidupan/perjuangan. Target kehidupan itu lebih menitikberatkan pada suatu ruang kehidupan yang lebih akomodatif, adaptif dan produktif. Namun tetap saja dalam prosesnya, perubahan tidak bisa lepas dari pengorbanan dan dikorbankan.

Duka Mangkubumi memberi inspirasi atas rangkaian peristiwa yang ada bahwa nafas perubahan selalu menyita waktu untuk mengkaji haruskah ada pengrbanan atau dikorbankan. Duka kemanusiaan itu adalah sample dari nafas perubahan yang berujung pada ruang kenyataan tatkala tujuan, harapan dan kenyataan bersinggungan. Apakah Duka Mangkubumi menjadi awal dari perubahan kaum yang ditentukan manusia atau ketentuan Tuhan ?

Dasar dari perubahan adalah nilai kesadaran yang bersikukuh melepaskan pola lama menuju arah yang positif. Kesadaran ini begitu perlu sebab menjadi pilar diri menjemput perubahan. Kesadaran melahirkan perilaku positif paling ampuh menggagalkan perbuatan sia-sia. Agama juga mengajarkan kita bahwa tanpa kesadaran maka perbuatan merugi lagi sia-sia bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.

Duka Mangkubumi merupakan tragedi yang berujung dengan luka kepedihan. Luka kepedihan yang larut dapat menghambat perubahan kaum. Caranya kita harus mengobati dengan membalut motivasi, sabar, ikhlas dan nilai taqwa bahwa cobaan ini juga bagian dari gerakan perubahan kaum. Cukupkah itu, tentu tidak !! Kebijakan juga mempercepat perubahan dengan landasan kemanusiaan pula. Rehabilitasi, renovasi dan rekondisi lokasi kejadian harus syarat pula dengan nilai kemanusiaan yang tidak bisa ditawar. Jika tidak, Duka Mangkubumi pasti terus tanpa memperhatikan tujuan perubahan yang diharapkan mereka.

Mari kita ganti duka dengan suka, luka dengan bahagia, durja dengan candatawa. Mangkubumi harus kembali tersenyum melalui nafas perubahan dengan meninggalkan masa tekanan dengan masa pengembangan. Perubahan yang beradab menjadi cita-cita, sebab perubahanlah yang mampu menjemput kehidupan yang lebih beradab pula. Tetapi yang terpenting, perubahan kaum yang berkemanusiaan tidak akan bisa berdiri tegak tanpa dilandasi sikap berkeTuhanan. Wallahu a’lam bi shawab..!!

P. Siantar, 24 Nov 2008

Drs. Safwan Khayat M. Hum
Penulis, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pascasarja USU Email; safwankhayat@yahoo.com dan http://selalukuingat.blogspot.com

Rabu, 22 Oktober 2008

MEDAN DAN HUJAN


Renungan
Medan dan Hujan.
Oleh : Drs. Safwan Khayat, M.Hum

Gumpalan awan hitam terus bergerak yang telah mencurahkan hujan membasahi tanah Medan hingga ke ubun-ubun bumi yang paling dalam. Medan basah oleh hujan yang deras sebagai pertanda cucuran karunia Tuhan Yang Maha Esa seakan tiada pernah putus melingkari Rahmat-Nya.. Curahan karunia Tuhan menjadi i’tibar bagi kita bahwa hujan bukanlah bencana tetapi limpahan karunia-Nya di atas kekuasaan-Nya yang menjadikan seluruh hamparan bumi menjadi subur oleh siraman hujan. Setiap titik air dari jutaan titik air hujan membawa harapan kehidupan bahwa air menjadi sumber penghidupan manusia di muka bumi. Setitik air menjadi penyambung kehidupan makhluk di muka bumi dengan kesegaran dan kekuatannya telah menambah daftar panjang kehidupan seluruh ciptaan Tuhan.

Hujan bukanlah bencana, tetapi hujan adalah rahmat dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Hujan menjanjikan sebuah kehidupan yang hidup dengan sifat kelembutan, kesejukan dan terapi pertumbuhan. Begitulah jika hujan turun maka bumi dan seluruh penghuninya mensorak ceria menyambut datangnya air keberkahan.

Seandainya kita tidak bersyukur atas limpahan karunia Tuhan dengan menjaga, merawat dan memperbaiki nikmat yang pernah dirasakan, maka hujan menjadi serangan yang menakutkan oleh orang-orang yang tidak menyadari rahmat dan karunia Tuhan. Gumpalan jutaan air hujan dapat menjadi suasana menjadi mencekam tatkala fasilitas alam yang kita nikmati tidak terawat. Bumi akan terendam oleh derasnya serangan hujan yang menikam tajam sampai ke sumsum perut bumi. Derasnya hujan, bumi tidak mampu menampung dikarenakan fasilitas alam terbengkalai dan dirusak. Hutan di babat tajam hingga tidak menyisakan akar kehidupan, sistem drainase yang terbengkalai hingga tidak mampu menyambut curahan hujan, sampah yang menumpuk seakan tidak enggan keluar dari lingkaran kebersihan dan sungai pun enggan menyambut datangnya hujan karena penuh dengan tumpukan kotoran.

Jika hujan tiba, kota Medan seakan cemas bagaikan di serang balatentara dari Tuhan. Gumpalan awan hitam dengan ledekan bom halilintar mengeluarkan jutaan peluru air hujan memberangus seluruh sisi kota Medan. Medan tergenang, Medan banjir dan Medan tenggelam. Sungai-sungai menolak kedatangan hujan yang akhirnya memuntahkannya kedaratan. Parit atau selokan juga tidak mampu berbuat banyak hanya bisa pasrah dan berdoa semoga sistem pembangunan lebih mengutamakan perawatan daripada keuntungan. Badan jalan penuh genangan air dan menjadi rusak di makan ketamakan. Pohon bertumbangan sambil mengintip siapa sasaran yang menjadi korban. Lalu lintas semakin amburadul karena tidak mampu menangkis serangan hujan.

Duhai kawan, aku, kamu, kami, kita, mereka dan siapun dia yang menjadi Medan sebagai kota pengharapan mari kita rawat dan jaga. Jangan sampai terjadi rahmat dan karunia Tuhan berujung kepada bencana. Hujan bukan lawan tetapi dambaan bagi makhluk hidup yang ada di muka bumi. Ketajaman hujan menjanjikan jutaan harapan dari setiap butir air yang tercurah membahasi kota Medan. Tetapi ketajaman hujan menjadi menakutkan ketika ruang kemanusiaan tidak lagi menjadi modal dalam merawat kota Medan.

Kita harus menyakini dan tetap meyakini bahwa Hujan adalah janji Tuhan yang mampu menghasilkan jutaan pengharapan. Hujan menyuburkan tanaman, menggemburkan lahan, menyejukan alam, membasahi sisi kekeringan dan melenturkan ketegangan. Hujan menjadi siksaan manakala manusia tidak pernah menghargai hasil cipta, karya dan karsa yang sepatutnya untuk kemaslahatan pula. Mudah-mudahan, Medan tetap bersyukur atas kedatangan hujan tanpa rasa cemas dan ketakutan.

Penulis, Alumni dan dosen UMA, Alumni Pascasarjana USU, Email; safwankhayat@yahoo.com

Senin, 06 Oktober 2008

Sadar Lingkungan Selamatkan Medan 10 Tahun Kedepan


Suasana lingkungan kota Medan semakin tidak menentu tanpa arah yang pasti. Beberapa indikasi tidak menentunya wajah pembangunan lingkungan kota dapat dilihat dari situasi sampah yang berserakkan, jalanan berlobang, terbengkalainya penataan pertamanan, semakin parahnya kemacetan lalu lintas, sistem drainase yang asalan dan modus pembangunan fisik yang kurang memperhitungkan analisis dampak lingkungan sekitarnya. Indikasi lain yang menjadi persoalan lingkungan kota juga ditemukan seperti median jalan yang hancur, gangguan pada trafic light di beberapa persimpangan, lampu taman yang mulai rusak, penataan perparkiran yang kurang memperhatikan ruang jalan, pekerjaan proyek fisik yang kurang memperhatikan situasi lingkungan, ketidak tegasan penertiban pedagang dan limbah yang ditumbulkannya dan penindaktegasan terhadap pabrik atau perusahaan tertentu yang membuang limbahnya sembarangan.
Semua indikasi ini berkaitan erat dengan penataan lingkungan kota Medan yang dampaknya dapat merubah wajah dan situasi pembangunan kota menjadi kumuh dan pemborosan. Perlu suatu perencanaan yang terukur, terarah dan matang dalam menata kota Medan mendatang dengan membentuk suatu sistem sinergisitas kerja dengan melibatkan seluruh potensi, elemen, instansi/lembaga dan kedinasan di atas tekad bahwa kota Medan milik dan kepentingan bersama. Rasa memiliki dan sikap kepentingan bersama yakni bahwa kota ini bukan sekedar sebuah kota persinggahan sementara, tempat bekerja dan atau kota rekreasi, tetapi kota Medan adalah tempat kita menetap tinggal dengan relatifitas waktu tertentu.
Apapun tolak ukur kita menjadikan kota Medan sebagaimana yang kita mau, bagi warga yang memanfaatkan kota ini sesuai dengan jenis penggunaannya, kota Medan telah memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Tidaklah etis jika penataan kota ini diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kota (Pemko) Medan sementara kita memanfaatkan fasilitas dan sarana yang dibangun Pemko Medan dijadikan untuk keuntungan pribadi. Tidak pula bijaksana kita berbuat semaunya di kota ini sementara orang lain juga punya hak yang sama tetapi menyadari tidak mungkin melakukan semaunya tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.
Sepatutnya, rasa malu harus kita tanggung bersama bagi siapa saja yang mengambil manfaat atas kota Medan. Tanpa terkecuali, kalangan birokrat, pengusaha/pedagang, guru/dosen, PNS, TNI, Polri, pelajar/mahasiswa, buruh/karyawan, elitis partai politik, LSM, praktisi dan siapapun yang memanfaatkan fasilitas kota ini untuk kepentingannya wajib menghargai, melestarikan dan menjaga segala wujud pembangunan kota Medan. Disinilah dibutuhkan mentalitas kesadaran, kejujuran dan tanggungjawab kita bersama. Memang tidaklah mudah menuntut kesadaran, kejujuran dan tanggungjawab bagi penghuni kota Medan yang heterogen (ragam populasi budaya), tetapi bagi kita tetap optimis dan meyakini bahwa hidup harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan Manusia.

Dalam menata kota ini dibutuhkan suatu mentalitas sikap sadar lingkungan guna menyelamatkan kota Medan sepuluh tahun mendatang. Setidaknya yang perlu dilakukan tiga pendekatan yakni ; 1) pendekatan kultural, 2) pendekatan spritual dan 3) pendekatan struktural.
Pertama, pendekatan kultural adalah pola menggungkap dan menggugah sistem tata aturan perilaku etos kerja yang dianut pada masing-masing budaya. Setiap budaya memiliki nilai luhur yang tinggi mengajarkan mentalitas sadar, jujur dan tanggungjawab. Nilai luhur ini harus ditonjolkan pada masing-masing budaya sehingga ruang kompetisi pada masing warga penganut budaya ikut mendorong menonjolkan budayanya. Peran serta pemuka adat sangat strategis membangkitkan nilai luhur masing-masing budaya ini sehingga kemajemukan budaya di kota ini menjadi lebih positif dan produktif.
Kedua, pendekatan spritual merupakan pola ibadah jiwa keagamaan dengan mengajarkan sikap sadar, jujur dan tanggungjawab. Setiap agama mengajarkan penganutnya untuk berlaku amar ma’ruf nahi munkar (berbuat baik dan menjauhi kekejian). Perbuatan baik adalah tujuan dari seluruh perbuatan agar bermanfaat bagi diri, orang lain dan lingkungan sekitarnya. Perbuatan baik ini menjadi ibadah yang bernilai pahala. Bagi pelaku tindakan keji adalah suatu perilaku yang dilarang dalam agama yang bernilai dosa. Peran pemuka agama sangat strategis memperbaiki moral warga di kota ini.
Ketiga, pendekatan struktural yakni pola tindak dan kebijakan yang terukur, terarah, terencana dan menyentuh dengan memanfaatkan seluruh potensi Pemko Medan melalui job networking system (sistem jaringan tugas) kedinasan/instansi unsur Muspida dan Muspika kota Medan. Pola tindak dan kebijakan Pemko Medan menjadi wujud konkrit program pemerintah dalam menata pembangunan kota yang berwawasan kulturalis dan spritualis.
Penataan kota yang tidak kalah pentingnya adalah penataan fisik kota terutama pada sarana transportasi angkutan umum dan lalu lintas. Sarana transportasi dan lalu lintas juga tidak bisa dipisahkan dari kepentingan pembangunan lingkungan. Transportasi yang tertib dapat mengurangi angka kecelakaan dan kemacetan lalu lintas.
Bagi masyarakat kota, dalam hal penggunaan transportasi angkutan umum dan lalu lintas membutuhkan tiga hal yakni 1) rasa aman; 2) rasa nyaman dan 3) adanya kepastian. Transportasi angkutan umum yang mampu menciptakan ketiga hal diatas menjadi rebutan bagi setiap penumpang yang menggunakannya. Rasa aman yang dijaga yakni aman dari bahaya pelaku kriminal atas diri dan barang bawaan. Rasa nyaman yang ciptakan yakni dengan cara membuat penumpang betah dan tenang di dalam kendaraan menuju tujuan dengan tidak berdesak desakan . Sementara adanya kepastian yakni adanya ketepatan dan hitungan waktu yang menjadi pedoman penumpang menuju tujuannya. Adanya tiga hal ini kebutuhan warga menggunakan jasa angkutan umum meningkat dan dapat mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan raya.

Penumpang lebih banyak menggunakan jasa angkutan umum daripada menggunakan kenderaan pribadi sebab rasa aman, nyaman dan adanya kepastian dapat dipenuhi. Penggunaan kenderaan pribadi dapat ditekan jumlahnya sebab jasa angkutan umum mampu memenuhi kebutuhan penumpang selama dalam perjalanan menuju tujuan. Berkurangnya kepadatan lalu lintas ikut mempengaruhi rendahnya efek kontaminasi lingkungan yang ditimbulkan dari limbah bahan bakar kendaraan.
Untuk mewujudkan tiga hal tersebut, dibutuhkan sebuah penataan sistem transportasi dengan menyediakan jenis transportasi angkutan umum massal yang sesuai dengan jenis kebutuhannya. Ketersediaan jenis transportasi seperti ini tentu harus didukung oleh fasilitas sarana jalan yang relevan dengan ketiga konsep di atas. Guna mewujudkan ini sangatlah tidak mudah sebab membutuhkan biaya besar dan perencanaan yang matang. Tetapi kita yakini jika kebersamaan ini dilakukan dengan tiga pola pendekatan di atas (kultural, spritual dan struktural) kota ini dapat kita tata demi menyelematkan masa depan wajah pembangunan kota sepuluh tahun mendatang. Kesimpulannya, penataan kota sangat berkaitan dengan penataan lingkungn kota itu sendiri.

Penulis
Drs. Safwan Khayat M.Hum
Penulis alumni dan dosen UMA serta alumni Pascasarjana USU,
. Email ; safwankhayat@yahoo.com

Rabu, 17 September 2008

Ramadhan Bulan Keberkahan Rezeki Manusia



Puasa suatu proses kaderisasi diri dengan kebulatan tekad dan kesungguhan hati menerapkan pola tindak yang rendah hati, kesadaran sosial, berfikir positif, menjauhi prasangka buruk dan kesetiakawanan. Kekuatan puasa mampu menciptakan keseimbangan diri untuk hidup dalam berkeadilan, kematangan jiwa, merajut silaturrahmi dan persatuan yang abadi.
Islam mengajarkan bahwa kewajiban ibadah puasa hanya berlaku setiap datangnya bulan Ramadhan. Bagi umat penganut agama Islam di seluruh dunia menegakkan ibadah puasa secara bersama-sama menjadi ibadah wajib tatkala bulan suci Ramadhan tiba. Walaupun Islam mengajarkan adanya beberapa ibadah puasa di luar bulan Ramadhan, tetapi keutamaan (fadhillah) puas Ramadhan jauh lebih tinggi dengan ribuan manfaat dan pahala yang dijanjikan Allah SWT. Ibadah puasa Ramadhan dijadikan Allah SWT sebagai bulan pengampunan (maghfirah) dengan jutaan keberkahan. Salah satu keberkahan bulan Ramadhan, sekecil apapun perbuatan amal kebajikan dijanjikan Allah SWT dengan balasan pahala yang berlipat ganda.
Dasar menjadi kewajiban umat Islam menegakkan ibadah puasa di bulan Ramadhan dituliskan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 183 dan185 yaitu ;
Bagi orang yang beriman, diwajibkan kamu berpuasa seperti orang sebelum kamu juga telah diwajibkan agar kamu bertaqwa.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditentukan untuk berpuasa merupakan bulan yang diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai pentujuk manusia dan memberikan penjelasan mengenai petunjuk itu dan menjadi pembeda atas segala yang haq dan bathil. Bagi siapa saja yang menetap tinggal dalam suatu negeri di bulan itu, maka wajiblah ia berpuasa, tetapi bagi siapa saja yang sedang sakit atau dalam perjalanan (berbukalah), tetapi ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya pada waktu yang lain.
Bila kita amati secara sosial, keberkahan bulan Ramadhan juga dapat dirasakan seluruh kalangan. Bukan saja bagi umat Islam sendiri, tetapi juga dirasakan umat beragama lainnya. Bagi para pedagang dalam menyambut dan berakhirnya bulan Ramadhan selalu meraih keuntungan yang lebih di luar bulan ini. Begitu pula pihak lain seperti petani, peternak, karyawan, pekerja bangunan, dosen/guru dan pelaku wiraswasta lainnya ikut merasakan keberkahan bulan Ramadhan. Untuk karyawan yang bekerja di instansi pemerintahan dan swasta turut pula memperoleh rezeki yang berlebih yang biasanya diperoleh menjelang berakhirnya bulan Ramadhan. Biasanya mereka memperoleh rezeki tambahan tersebut dalam bentuk tunjangan hari raya (THR) dengan penyesuaian gaji/honor yang mereka peroleh masing-masing.

Rezeki yang diperoleh yang dibelanjakan untuk keperluan sandang dan pangan hendaknya rezeki yang dinyatakan sebagai bentuk hasil perbuatan yang halal. Keberkahan Ramadhan dengan rezeki yang halal lagi baik membuktikan bahwa keutaman bulan suci ini bukan saja milik umat Islam tetapi ikut memberi manfaat bagi umat lainnya. Rezeki yang halal lagi baik adalah rezeki berkah yang tatkala memperolehnya jangan memperturuti nafsu syaitan yang dapat merusak keberkahan rezeki tersebut.
Dalam memperoleh rezeki yang halal lagi baik, Allah SWT telah memerintahkan seluruh umat manusia di jagat raya ini (tanpa pengecualian) dengan cara yang halal lagi baik. Perintah Allah SWT termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 168-169 yaitu ;
Hai sekalian manusia di jagad raya, makanlah yang halal lagi baik atas apa saja yang kamu peroleh di muka bumi, janganlah kamu ikut cara-cara syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji.
Ukuran keberkahan rezeki dapat dilihat dari sisi penggunaan atau manfaatnya. Rezeki yang dibelanjakan dengan manfaat yang positif menjadi tolak ukur bahwa rezeki yang diperoleh berkah. Rezeki yang dibelanjakan tanpa memberikan manfaat yang berarti serta berdampak mudharat bagi diri sendiri juga dapat dijadikan tolak ukur bahwa rezeki yang diperoleh tidak berkah.
Kata lain dari sebuah ukuran keberkahan rezeki yaitu penggunaan belanja sesuai dengan peruntukkan yang baik, tepat dan benar. Dalam bahasa Al Qur’an keberkahan rezeki bila digunakan dengan membelanjakannya di jalan Allah agar rezeki yang diperoleh dari-Nya dapat mensucikan diri.
Firman Allah dalam Surah Al Baqarah 254 menjelaskan tentang keberkahan rezeki dengan menggunakan pada jalan Allah berbunyi ;
Wahai orang yang beriman, gunakanlah sebahagian rezeki mu dengan membelanjakannya di jalan Allah dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu, sebelum datang suatu hari yang tidak ada lagi jual beli (perniagaan) dan tidak ada lagi persahabatan serta tidak ada lagi hukum. Orang kafir adalah golongan yang zalim.
Dalam penjelasan berikutnya Al Qur’an menggambarkan bahwa rezeki yang digunakan di jalan Allah dengan manfaat yang dirasakan diri sendiri dan orang lain bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir yang berisikan ratusan biji.
Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir dan tiap-tiap butir berisikan seratus biji. Allah akan terus melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia Kehendaki. Allah Maha Luas kurnia-Nya lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah 261)

Masih dalam surah yang sama di ayat lain, Al Qur’an juga mendeskripsikan betapa Allah melipat gandakan atas penggunaan rezeki yang diridhai-Nya.
Dan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi disirami hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, hujan gerimis pun juga memadai hasil kebun tadi. Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (Al Baqarah 265).

Selain membelanjakan rezeki untuk kebutuhan pribadi dan keluarga, keberkahan rezeki akan terasa manfaatnya dengan berinfaq, bersedekah, berzakat dan menggunakannya untuk kemaslahatan umat dan negara. Bentuk penggunaan rezeki yang menyimpang dari peruntukkan apalagi sama sekali tanpa memperdulikan nafkah di jalan Allah (infaq, sedekah dan zakat) justru membuat rezeki yang diperolehnya menjadi bencana bagi diri sendiri.
Betapa bulan suci Ramadhan ini menjadi bulan intropeksi diri atas segala bentuk perbuatan dan penggunaan rezeki yang kita peroleh selama ini. Peluang Ramadhan dengan meraih keuntungan rezeki dan penggunaanya saling merasakan dan memahami lingkungan sekitar sebagai bulan Ramadhan menjadi bulan keberkahan rezeki bagi manusia di jagad raya.


Penulis; , Alumni UMA dan USU, Dosen UMA. Email; safwankhayat@yahoo.com

Kamis, 11 September 2008

Mengugat Akar Kemiskinan

Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum

Kondisi kemiskinan menjadi masalah issu mendunia yang bukan saja ditemukan pada masyarakat pedesaan, juga tidak sedikit dijumpai pada pola interaksi kehidupan masyarakat perkotaan. Disadari atau tidak, banyak pihak melirik persoalan kemiskinan berputar pada tataran gejala sosial yang terlihat (tampilan) pada permukaan saja. Misalnya, ditemukan salah satu ciri umum kondisi fisik kemiskinan yang tidak memiliki akses prasarana dasar lingkungan yang kurang memadai, kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, mata pencaharian yang tidak menentu dengan rendahnya pendapatan ekonomi keluarga. Gejala sosial ini biasanya selalu menjadi tolak ukur dalam menelaah tataran kondisi fisik kemiskinan dengan meneropong pola kehidupan masyarakat pinggiran yang berada di perkotaan.
Pada dimensi kehidupan sehari-hari, gejala kemiskinan yang muncul dalam social setting diantaranya ;
Pertama, Dimensi politik, biasanya terjadi dalam bentuk tidak ditemukannya wadah/organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka terus semakin terpinggir bahkan menjurus tersingkir dari suatu pola pengambilan keputusan yang teramat penting berkaitan masa depan hidup mereka. Mereka juga tidak memiliki kemampuan menguasai akses yang menunjang menuju sumber daya penting yang dibutuhkan guna menyelaraskan pola hidup mereka yang layak.
Kedua, Dimensi sosial, muncul ke dalam bentuk tidak terkoordinir warga miskin khususnya ke dalam institusi sosial yang ada, bahkan budaya kemiskinan terinternalisasi ke dalam etos kerja mereka yang berakibat buruk bagi kualitas sumber daya diri dan memudarnya nilai-nilai kapital sosial.
Ketiga, Dimensi lingkungan, tampilan yang kelihatan dalam bentuk sikap, perilaku dan cara pandang yang lemah dan kaku, kurang berorientasi masa depan sehingga cendrung melahirkan keputusan dan melaksanakan aktifitas yang kurang selaras dengan kelestarian lingkungan sekitar.
Keempat, Dimensi ekonomi, kelihatan jelas dalam bentuk penghasilan yang rendah sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sampai batas layak.
Kelima, Dimensi asset, rendahnya tingkat kepemilikan dalam bentuk asset yang menjadi bagian dari modal hidup mereka dan lemah pula asset kualitas sumber daya manusia (human capital), modal usaha dan peralatan kerja.
Disamping kelima dimensi yang menjelaskan tentang gejala kemiskinan, beberapa pendekatan yang dijadikan karakteristik kemiskinan diantaranya ; a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar seperti pangan, sandang dan papan, b) ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya misalnya kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi, c) ketiadaan jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga, d) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, e) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam, f) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat, g) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan, dan h) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.
Dalam konteks politik, Friedman mendefenisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi; 1) modal produktif atau asset seperti tanah, perumahan, alat produksi dan kesehatan, 2) sumber keuangan seperti pekerjaan dan kredit, 3) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama misalnya koperasi, partai politik dan organisasi sosial, 4) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, 5) pengetahuan dan keterampilan, dan 6) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.


Akar Kemiskinan
Dimensi kemiskinan juga dapat diartikan sebagai bentuk pola perilaku yang disebabkan adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di tengah masyarakat. Faktor penghambat tersebut yang menjadi akar kemiskinan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Sebab faktor internal adalah diawali datangnya dari dalam diri si miskin itu sendiri seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (culture poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Disisi lain, faktor eksternal dalam prosesnya datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural yakni terjadi bukan karena “ketidakmampuan” si miskin untuk bekerja (malas) melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Dari kedua faktor ini, paradigma kemiskinan dapat diukur melalui telaah konsep yang menjadi indikator kemiskinan itu sendiri misalnya adanya pembedaan kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dalam konteksnya, kemiskinan absolut dan relatif keduanya muncul memiliki masing-masing sebab dan meluasnya masyarakat miskin diperkotaan. Tentu saja, setiap bentuk kemiskinan yang tampil dalam realitas sosial perlu digagasi strategi penanggulangannya agar bentuk kemiskinan itu tidak meluas.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan dalam kenyataannya sering menghadapi suatu kondisi yang kurang proporsional dan menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih fragmentasi sosial dan mengkrucutnya nilai-nilai kekuatan kapital sosial seperti sikap gotong royong dan kemandirian. Proses pengkrucutan ini membawa bias terhadap munculnya pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari sikap dan semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara kolektif. Ditengah masyarakat muncul sikap “pengemisme” sebagai kelompok peminta yang menunggu belas kasihan dan uluran tangan dari pihak tertentu.
Kondisi ini terus berlanjut bila disertai adanya perilaku masyarakat yang memudar etos kerja dan daya juang untuk keluar dari lingkaran pola perilaku kemiskinan. Salah satunya yang ikut sebagai faktor penyebab adanya ketidak adilan keputusan, kebijakan dan tindakan pengelolaan pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemimpin masyarakat (pemerintah) terhadap masyarakatnya. Sikap pemimpin seperti ini justru memperlebar ruang penyekat dan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di mata warga miskin.
Akar kemiskinan yang ditengarai oleh kedua faktor di atas membuat kondisi kemiskinan akan tetap terus bertahan. Kemiskinan yang disebabkan faktor internal melahirkan bentuk kemiskinan kultural (culture poverty) seperti etos kerja dan daya juang yang lemah, bersandar pada nasib dan belas kasihan, sikap masa bodoh dan tidak percaya diri, meraih pendapatan berdasarkan kebutuhan singkat, tidak memiliki modal kapital sosial, lemahnya orientasi obsesi hidup, sikap kecurigaan yang berlebihan, membatasi bentuk pergaulan sosial, dasar pendidikan yang tidak menunjang dan tidak menerima perubahan sosial.
Faktor eksternal juga ikut “memicu” pertumbuhan angka kemiskinan bagi masyarakat perkotaan. Faktor eksternal membawa dampak pada bentuk kehidupan kemiskinan struktural (structure poverty) seperti hasil keputusan, kebijakan dan tindakan pemerintah yang tidak adil, sempit dan berbelitnya dukungan permodalan bagi pelaku usaha UKM, keberpihakan kepada pengusaha elitis, lemahnya sistem ekonomi guna menurunkan angka kemiskinan dan kuatnya orientasi kepentingan politik yang berlebihan.
Keadaan ini harus kita rubah dengan menggugat akar kemiskinan yang selama ini terus berlanjut di sekitar kita. Gugatan yang harus segera dilakukan khususnya dalam bentuk mengurangi angka kemiskinan adalah dengan memperbaiki sikap dan pandangan masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip sosial dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perubahan sikap dan pandangan yang positif merupakan perubahan perilaku guna memperkokoh terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, menyadari tujuan hidup guna mengangkat harkat dan martabat diri dan meyakini bahwa hidup bukan hanya untuk makan, tetapi punya tanggungjawab sosial yang tinggi. Perubahan ini sekaligus sebagai bentuk gugatan kita terhadap diri sendiri bahwa kita harus melawan kemiskinan kultural yang bersumber dari diri sendiri yang sekaligus sebagai tergugat pertama.
Kebijakan penting yang berpihak pada penyelamatan nasib kelompok miskin juga menjadi sasaran gugatan kita. Peran pemerintah dalam melahirkan program peningkatan perekonomian warga harus terus kita kritisi. Dukungan dan dorongan pemerintah yang lemah menambah daftar kemiskinan masyarakat. Sikap kita adalah dengan menyusun langkah yang strategis, fungsional dan tepat sasaran agar kelompok miskin dapat keluar dari keterhimpitan ekonomi. Pemerintah harus pula melawan kemiskinan struktural yang ditimbulkan dari lemahnya manajerial organisasi. Guna melawan kemiskinan struktural dibutuhkan sikap dan moral pejabat yang jujur, bersih, berorientasi kerakyatan dan selalu berfikir agar rakyat tidak bodoh dan lapar. Kemiskinan yang bersumber dari keputusan yang tidak adil sekaligus dijadikan sebagai bentuk tergugat kedua.

Penutup
Jika saja akar kemiskinan telah menjalar di tengah kehidupan ini yang telah merasuki ke dalam pola sikap, pandang dan kebijakan, maka kita pulalah yang paling tepat menggugatnya. Dengan menggugat akar kemiskinan sama pula kekuatannya dengan melawan diri, masyarakat, bangsa dan negara memerangi kelaparan dan kebodohan. Masyarakat lapar dan bodoh sangat identik dekat dengan kemiskinan, tetapi masyarakat yang melaparkan diri dan membodohi diri sama pula kekuatannya dengan kemiskinan. Ilustrasi inilah yang penulis katakan sebagai bentuk kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Dengan menggugat akar kemiskinan maka kita telah menggungat diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Mudah-mudahan kota Medan ini dengan segenap penghuni meyakini bahwa menggugat akar kemiskinan telah menjauhkan kita dari rasa lapar dan masa bodoh.

Siantar, Mei 2008




Kompol Drs. Safwan Khayat. M.Hum
Penulis Mantan Kasatlantas Poltabes MS & Dosen Universitas Medan Area
Sekarang Wakapolresta P. Siantar

Senin, 25 Agustus 2008

Kemerdekaan Dengan Nilai Kepentingan Kolektif


Oleh, Drs. Safwan Khayat M.Hum

Merdeka..!!! Indonesia Merdeka...!! Hidup atau Mati..!! Kata-kata ini akumulasi keinginan yang kuat bangsa Indonesia untuk lepas dari penindasan, perampasan, penistaan, pemerkosaan dan penjajahan kultural, politik, hukum, pendidikan dan ekonomi yang dilakukan bangsa kolonialis. Ratusan tahun seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia berada dalam tekanan dan penjajahan politik hingga merusak seluruh jaringan sel-sel syaraf persatuan, kesatuan dan nasionalisme kebangsaan. Bangsa kita hidup terkotak-kotak lewat polarisasi politik devide et imvera. Hembusan permusuhan saling curiga dan nafas perpecahan telah menjadi senjata ampuh bagi bangsa penjajah merusak anatomi nasionalisme kebangsaan kita. Perjuangan meraih hidup bebas (freedom life) dari penjajahan di beberapa daerah yang digerakkan tokoh-tokoh penting, tidak menjadi gerakan perlawanan yang berarti bangsa kolonialis. Gencarnya perlawanan di Aceh yang di pimpin Cut Nyak Dien, gerakan gerilya di Sumatera Utara yang dikomandoi Sisingamangaraja XI, pengusiran penjajahan di daerah Ranah Minang oleh Tuanku Imam Bonjol, laskar perjuangan di Jawa yang dimotori Pangeran Diponegoro, pergerakan mengusir penjajajh di Makassar oleh Sultan Hasanuddin, serangan pemuda Maluku atas bangsa penjajah oleh Pattimura dan sejumlah deretan nama besar pahlawan kebangsaan yang berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sesama kita sebangsa, serumpun, sedarah bahkan se-ibu dan se-ayah hidup saling bermusuhan dengan mempertahankan masing-masing pendapat dan kehendak. Tidak sedikit bangsa kita sendiri telah menjadi budak kepentingan bangsa kolonialis demi mengejar target pribadi dan nafsu jabatan duniawi. Kita tidak saja berhadapan dengan fisik bangsa penjajah, tetapi kita telah berbenturan fisik secara langsung dengan saudara sendiri. Begitulah kondisi perpolitikan adu domba dan politik belah bambu yang dilakukan pada masa itu.


Walau kondisi semakin parah, tokoh yang berupaya menyatukan bangsa agar meraih cita-cita kemerdekaannya terus bermunculan. Sejumlah nama berkaliber pengalaman pendidikan nasional dan internasional terus menyakinkan seluruh elemen bangsa bahwa kondisi nusantara harus kita satukan dengan cita-cita bebas penjajahan dan merdeka secara universal. Munculnya nama-nama seperti Dr. Wahidin dengan gerakan pendidikan, Muhammad Natsir dengan gerakan Agama, Dr.H. Agussalim dengan gerakan budaya, pendidikan dan agama, Dr. Mohammad Hatta dengan gerakan ekonomi koperasi dan Ir. Soekarno dengan gerakan politik dan sejumlah nama tokoh besar lainnya telah berhasil menjemput semangat persatuan untuk mengusir penjajah di tanah air. Gerakan gerilya politik secara nasional yang dipimpin Panglima Jenderal Sudirman dalam melakukan penyerangan dan pertempuran secara serentak di beberapa daerah telah menumbuhkan jiwa kobaran api kemarahan dengan pekikan Merdeka atau Mati. Ternyata upaya ini berhasil telah menyamakan persepsi bangsa kita bahwa hanya dengan bersatu merapatkan barisan dengan visi kemerdekaan bebas dari belenggu penjajah telah merubuhkan benteng politik kolonialis yang begitu kokoh.

Jiwa persatuan jauh lebih ampuh dan canggih dalam mengusir bangsa penjajah di tanah air. Hanya bermodalkan senjata yang ala kadar melawan kecanggihan senjata lawan seluruh pos-pos yang diduduki penjajah telah di bumi hanguskan oleh pejuang bangsa yang tidak kenal menyerah dan rela mengorbankan segalanya demi mempertaruhkan marwah bangsa Indonesia.
Kini hasil persatuan itu telah membuah hasil tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya. Catatan kelukaan dan cerita kesedihan mendalam terganti oleh sebuah ruang hidup yang lebih segar dengan dengusan nafas kebebasan. Air mata kesedihan yang biasanya mengalir telah berganti dengan air mata kegembiraan yang bercucuran berkat perjuangan dan anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kemerdekaan ini telah memasuki usia ke 63 tahun pada saat tanggal 17 Agustus 2008 diperingati secara nasional seluruh komunitas bangsa Indonesia dalam negeri maupun yang di luar negeri. Peringatan hari kemerdekaan setidaknya dijadikan sebuah peringatan atas jiwa pengorbanan dan persatuan pejuang bangsa tanpa kenal lelah dan pamrih demi bangsanya.

Nilai Kepentingan Kolektif

Sejarah telah mencatat bahwa persatuan menjadi senjata ampuh meluluhlantakkan seluruh kekuatan bangsa penjajah di tanah air. Sikap bersatu dengan nilai kepentingan kolektif telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan. Nilai kepentingan kolektif ini pulalah yang peru kita teladani dalam mengisi kemerdekaan di usia 63 tahun ini. Nilai kepentingan kolektif bukan berarti tidak menghargai kepentingan individu, tetapi jiwa dan semangat kebersamaan dalam nilai kepentingan kolektif adalah prasayarat dalam menegakkan azas kebangsaan dengan makna bertindak sendiri-sendiri dan bersama di atas kepentingan negara.
Di dalam nilai kepentingan kolektif mampu merajut sikap saling menghargai dengan bentuk penyadaran diri bahwa segala produk berfikir dan tindakan perilaku sosial tanpa mengorbankan kepentingan bangsa. Sikap ini menjadi pola tindak yang dapat memelihara persatuan yang kian dipertaruhkan akhir-akhir ini. Seperti yang telah disinggung di awal tulisan bahwa persatuan senjata ampuh mengusir penjajahan, di era mengisi kemerdekaan persatuan juga senjata ampuh mengusir kebodohan, kemiskinan dan penegakkan keadilan.
Nilai kepentingan kolektif merupakan implementasi nilai kejuangan yang lahir dari suatu tindakan memperjuangkan hak kemanusiaan. Kemerdekaan yang diperjuangkan para pejuang bangsa juga menuntut perjuangan penegakkan hak kemanusiaan yang ditindas oleh kolonialis. Kemerdekaan menjadi tekad untuk sukses dengan mempertebal semangat juang dalam meraih masa depan bangsa. Tekad untuk suskes itu hanya ada bila kemerdekaan di isi dengan persatuan sebagai alat pembangunan. Kepentingan individual sangat jauh dari nilai kejuangan yang mengutamakan azas kepentingan kolektif. Dengan sikap bersama tidak akan mampu menggoyahkan tujuan kita untuk saling membahu menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan pendidikan, peningkatan ekonomi, politik berkeadilan, penegakkan kepastian hukum dan moralitas yang teruji.
Di usia 63 tahun kemerdekaan RI, sikap dengan nilai kepentingan kolektif menjadi modal pembangunan nasional. Kepentingan individu dan kelompok hendaknya diselaraskan dengan kepentingan kolektif secara nasional sehingga upaya pihak tertentu dalam melemahkan persatuan dan nasionalisme kebangsaan tidak berjalan. Persatuan di tengah pergumulan identitas kebangsaan pasca kemerdekaan terus di uji dengan berbagai desakan dan tekanan kekuatan tertentu dalam dan luar negeri.
Mengisi kemerdekaan dengan nilai kepentingan kolektif yakni dengan menyatukan persepsi kebangsaan tanpa apriori dan sentimen kelompok. HUT Kemerdekaan RI menjadi simbol hari bahwa berkibarnya bendera Merah Putih tidak cukup dengan keberanian dan suka cita tetapi didasari dengan ketulusan, kebanggaan, keikhlasan dan harapan bahwa dengan berkibarnya sang Merah Putih di langit biru menjadi simbol pula berkibarnya Indonesia Raya di jagat dunia.
Refleksi kemerdekaan harus pula dijabarkan ke dalam nilai hidup kesehariaan yakni dengan merasakan bahwa tujuan pasti sulit diraih tanpa perjuangan dan perngorbanan. Kemerdekaan menjadi nyata dan abadi bila bangsa ini merdeka mengekspresikan potensi diri secara ril, produktif dan bertanggungjawab. Mengekspresikan diri bukan saja sekedar mengeksplorasi minat, bakat dan daya fikir tetapi dapat dengan bebas memberikan konstribusi terhadap apa saja pola tindak yang menguntungkan bangsa dan negara. Yang paling terpenting, substansi refleksi kemerdekaan yakni tidak ada lagi penistaan, penindasan, pemaksaan kehendak dengan kekerasan dan perampasan hak-hak kemanusiaan. Kita boleh saja merdeka menyampaikan pendapat tetapi kemerdekaan itu harus pula jujur dan bertanggungjawab. Kita silahkan saja merdeka menentukan sikap politik yang terpenting politik berkeadilan menjadi makna penting dari substansi kemerdekaan. Pihak tertentu dibenarkan mengembangkan ekonomi usaha seluas-luasnya, asalkan tidak memonopoli praktek ekonomi yang dapat meruntuhkan usaha ekonomi kecil menengah. Disinilah substansi kemerdekaan sepanjang nilai kepentingan kolektif menjadi patron bangsa ini mengisi kemerdekaan itu tadi.
Melalui momentum hari kemerdekaan ini saatnya bangsa kita harus serius menyatukan persepsi bahwa sikap kepentingan individu dan kelompok dapat melemahkan nilai kejuangan dan substansi kemerdekaan. Dengan bersatu mengasah jiwa nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang cerdas bangsa kita tidak mudah rapuh dari rongrongan gaya kolonialisme baru yang terus mengancam integrasi nasional. Hanya dengan persatuan bangsa kita menjadi lebih kuat bersama meraih cita dan menata masa depan. Dirgahayu Indonesia Ku..!! Majulah Negeri Ku..!! MERDEKA..!!



Penulis
Drs. Safwan Khayat M.Hum

Penulis ; Alumni UMA dan USU, Dosen UMA dan saat ini Email; safwankhayat@yahoo.com

Minggu, 29 Juni 2008

HUT BHAYANGKARA KE 62

Refleksi Dirgahayu Polri 1Juli 2008
Kiprah Polri ; Antara Pujian dan Cacian

Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum



Sepuluh tahun kiprah Polri dalam gerakan reformasi (1998 – 2008), upaya tuntutan agenda reformasi, penegakkan hukum dan HAM, pengawalan proses hak demokratisasi dan pemberantasan pidana korupsi masih membutuhkan proses perbaikan. Perlahan tapi pasti, upaya Polri bersama elemen bangsa dalam mempercepat tujuan reformasi terus bergulir seiring dengan perubahan paradigma dan kinerja Polri dalam sorotan masyarakat. Berbagai peristiwa yang terjadi di wilayah tanah air menuntut kinerja Polri yang profesional dalam menangani setiap kasus pelanggaran hukum. Tidak jarang pula ditemukan, kasus pelanggaran hukum dalam setiap penanganan Polri berbuntut berbagai penafsiran (multi interpretasi) dalam menilai hasil kinerja Polri.
Perubahan paradigma Polri sebagai bagian dari batang tubuh masyarakat dan bersama masyarakat mewujudkan agenda reformasi yang tertib, terukur dan beradab selalu beragam tanggapan. Di satu sisi kinerja Polri dibenci dan dicaci, tetapi Polri juga dirindukan dan dipuji. Polri harus mengantisipasi setiap tindakan yang mengarah anarkis, tetapi dibalik antisipasi tersebut sorotan tajam atas sikap Polri mengundang kritikan. Dilematis posisi Polri dalam menjalankan tugas pengamanan dan penegakkan hukum serta HAM mendesak kinerja Polri yang profesional.
Berbagai kasus pelanggaran hukum yang berhasil diungkap dan ditangani Polri tidak luput dari pujian. Terungkapnya jaringan teroris, sindikat peredaran narkoba, korupsi, cyber crime networking, illegal logging, illegal fishing, human traffiking, pembunuhan, pencurian dan perampokan telah menyertakan beragam sambutan positif. Bahkan keseriusan Polri memberangus habis praktek perjudian, prostitusi dan premanisme di setiap daerah yang getarannya dirasakan langsung masyarakat, disambut gembira seluruh masyarakat. Ungkapan suka cita, senyuman, tepuk tangan dan uluran tangan dalam membantu tugas Polri terus mengalir bagaikan hujan deras membasahi bumi menyuburkan setiap butiran tanah dan sehelai daun tanaman. Aliran air di setiap tetesan hujan dirasakan langsung manfaatnya hingga menghidupkan kembali pori-pori bumi yang lama kering kerontang diterpa panasnya bumi dan kejamnya kehidupan alam.
Dibalik semua ini, manakala Polri harus bersikap tegas atas segala bentuk tindakan yang mengarah munculnya gangguan keamanan dan ketertiban ─ bahkan anarkis ─ sikap cacian jauh melebihi kata pujian yang pernah dilantunkan. Tuduhan cacian mengalir bagaikan serangan wabah penyakit kolera hingga menusuk jantung profesionalisme Polri sendiri. Polri dituduh dalang kerusuhan, melanggar hukum dan HAM, menghalangi proses demokratisasi dan membantai aktifis demonstrasi. Polri dinilai arogan, memanfaatkan situasi mempertahankan kekuasaan dan melakukan kekerasan terhadap pihak tertentu dengan sikap keberpihakan kepada kelompok tertentu pula. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, Polri dalam pandangan segelintir orang adalah musuh yang menghambat tegaknya proses reformasi demokrasi.
Fenomena sosial inilah yang sering tampil dalam setiap pertanyaan dan pernyataan publik sosial bahwa kedudukan Polri selalu menjadi perhatian. Eksistensi Polri selalu berada antara pujian dan cacian ditengah pergumulan identitas dan kinerja Polri sebagai bagian batang tubuh masyarakat. Semakin Polri mendapat pujian dan cacian, semakin menunjukkan bahwa Polri nyata-nyata milik masyarakat. Jika kata pujian dan cacian tidak pernah lahir dalam tampilan peristiwa sosial ( social setting), maka analisis sosial terhadap Polri cukup rendah. Jika penilai plus dan negatif berjalan berimbang, maka analisis sosial memiliki siginikansi yang kuat.

Polri Ditengah Perubahan Moral Masyarakat
Dari dahulu hingga sekarang, posisi Polri sebagai moral safeguard masyarakat suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Moral safeguard (penegak moral) yakni dengan memberikan penyuluhan dan motivasi kesadaran perilaku masyarakat agar menjauhi bentuk tindakan yang menyalahi norma hukum. Penegak moral berarti Polri juga sebagai penegak hukum yang senantiasa mengamati, mengawasi, mengarahkan dan mengambil tindakan atas segala bentuk penyimpangan perilaku yang dapat mengganggu, merusak dan menghancurkan tatanan stabilisasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Pada posisi ini pula, Polri juga dihadapi adanya perubahan moral masyarakat. Berbagai modus operandi penyimpangan hukum senantiasi melingkari perubahan moral masyarakat ─ baik secara sengaja atau tidak. Kondisi ini merupakan tantangan Polri dalam menjalankan tugas sebagai penegak moral. Kiprah dan profesionalisme Polri dipertaruhkan secara terus menerus yakni dengan memperkuat basis sumber daya diri yang sadar, terampil, teruji dan dedikasi. Sumber daya diri yang sadar adalah sumber daya personil Polri yang senantiasa menyadari kelemahan dengan cara giat belajar memperbaiki diri dan mencari informasi guna menambah prestasi kerja. Sumber daya terampil yakni memanfaatkan dan menguasai fasilitas komunikasi dan teknologi guna mendukung tugas dan prestasi kerja sehingga menambah gairah dan hasil kerja yang terukur. Sumber daya teruji merupakan cita-cita Polri mampu menyelesaikan seluruh unit bidang kerjanya dengan membawa manfaat yang positif dirasakan langsung masyarakat. Sumber daya dedikasi adalah tanggungjawab, jujur pada diri dan menghormati pimpinan serta menghargai senioritas dalam setiap menjalankan tugas penegakan hukum.
Penegakkan moral tentu harus berawal dari dalam tubuh Polri sendiri. Kekuatan moral adalah jantung tegaknya hukum yang berkeadilan. Kekuatan moral menjadi pilar ampuh memberantas penyakit rakus, arogan, benci atas kritikan dan membebaskan diri dari polusi suap. Polri di mata masyarakat bagaikan ”Tuhan” yang tidak boleh salah dengan segenap tampilan moral panutan. Padahal Polri juga manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan, kelalaian dan dosa-dosa sosial.
Pertumbuhan populasi penduduk yang padat, menyempitnya lahan tanah untuk pemukiman dan garapan, rendahnya angka keterampilan kerja dan mengkrucutnya peluang lapangan pekerjaan dengan daftar pertumbuhan populasi pengangguran ikut membawa dampak bagi perubahan moral masyarakat. Tingginya biaya hidup, sulitnya didapati kebutuhan pangan, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya akses bantuan kesehatan dan kecilnya biaya penghasilan menjadi catatan sosial persoalan masyarakat. Keadaan ini juga dirasakan personil Polri atas beban hidup yang dirasakan bersama masyarakat. Tugas dan tanggungjawab yang berat dengan senantiasa menjaga nama kelembagaan (korps Polri) di setiap tempat menjadi beban psikologis yang perlu menjadi perhatian semua pihak.
Di akui karena latar belakang tertentu, personil Polri ada ditemukan melakukan pelanggaran etika profesi dan hukum. Sikap yang arogan dengan mengawal dari belakang (back up) kegiatan bisnis illegal turut mempengaruhi citra Polri. Sedikit saja sikap personil menyalahi etika profesi dan hukum membawa dampak bagi nama kelembagaan. Kondisi ini sangat disadari Polri sendiri atas perilaku personil Polri di beberapa kesempatan tertentu.
Untuk memperbaiki citra Polri atas stigma masyarakat juga tidak mudah. Stigma masyarakat juga tidak bisa sepenuhnya dibenarkan apalagi disalahkan. Tetapi peran Polri sebagai penegak moral (moral safeguard) sudah menjadi tanggungjawab yang tidak bisa dilalaikan. Guna mendukung tugas ini Polri harus memperhatikan personilnya dengan melengkapi fasilitas kerja, pendidikan dan pelatihan profesi yang berkala, pembinaan mentalitas personil, gaji/honorarium yang menunjang, bantuan perumahan biaya murah dan bea siswa pendidikan bagi personil yang berprestasi. Semua ini sangat bermanfaat guna meningkatkan kinerja Polri yang profesional dan mengangkat citra Polri di hati masyarakat.
Penutup
Kini sudah 62 tahun Polri (1 Juli 1946 – 1 Juli 2008) berkiprah melakukan pelayanan dan penegakkan hukum di tanah air. Pengabdian Polri kepada negara dalam menegakkan keadilan di tengah masyarakat harus lebih baik lagi. Profesionalisme Polri adalah melindungi masyarakat dalam memerangi kejahatan tanpa refresif dan kekerasan. Dalam bertugas, personil Polri harus lebih banyak menggunakan pendekatan dialektik daripada otoktarik. Mudah-mudahan pendekatan dialektik dapat merajut kesatuan langkah dan tujuan Polri bersama masyarakat meningkatkan kesadaran hukum dan menegakkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Dirgahayu Polri, mari kita tingkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai pengabdian kita kepada Ibu Pertiwi. Semoga Tuhan meridhai cita-cita masa depan bangsa kita dan menumbuhkan sikap bersatu yang utuh serta kesehatan bagi kita semua khususnya masyarakat dan Polri.

Siantar, 24 Juni 2008
P E N U L I S


Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum


* Penulis Mantan Kasatlantas Poltabes MS dan saat ini Wakapolresta P. Siantar.


Rabu, 25 Juni 2008


DOA ABAH
UNTUK SAHLA KHAYAT

Ya Allah…..

Jadikanlah anaku
Seorang yang cukup kuat mengetahui kelemahan dirinya
Berani menghadapi dikala ia takut
Yang bangga dan tidak tunduk dalam kekalahan yang tulus
Serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan

Ya Allah…..
Jadikanlah anaku
Seorang yang tahu akan adanya Engkau
Dan mengenal dirinya sebagai dasar segala pengetahuan

Ya Allah…..
Bimbinglah anaku
Bukan dijalan yang gampang dan mudah
Tetapi dijalan penuh desakan, tantangan dan kesukaran

Ya Allah…..
Berikanlah kekuatan dan ajarilah anaku
Agar ia sanggup berdiri teguh di tengah badai
Dan belajar mengasihi mereka yang tak berhasil

Ya Allah…..
Jadikanlah anaku, seorang yang baerhati suci, bercita cita luhur
Sanggup memerintah dirinya sebelum memimpin orang lain
Mengejar masa depan tanpa melupakan masa lalu

Ya Allah…..
Aku mohon kepadamu jauhkan dari dirinya sifat sombong, takabur,iri dan dengki
Sesudah semuanya membentuk dirinya
Berikanlah ia kerendahan hati, kesederhanaan dan kesabaran
Dan rahmatilah dia.

Minggu, 22 Juni 2008

SAMPAH ; Masalah dan Manfaat


Oleh,
Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum


Bila kita telusuri di wilayah kota Medan, tumpukan sampah terbengkalai berhari-hari dengan mengeluarkan aroma bau yang menyengat. Tumpukan sampah yang berserakkan telah merubah image kota Medan menjadi kota kumuh yang jauh dari nilai Kemodrenan, Religius dan Madani. Penanganan tumpukan sampah yang lamban menimbulkan kegerahan lingkungan sekitarnya. Ironisnya, timbunan sampah itu tidak luput pula menjadi perhatian bagi yang melintasi lokasi itu. Timbunan sampah itu mempertontonkan wajah kota yang kusam, jorok dan bau bagaikan rumah yang tidak berpenghuni lama ditinggalkan tuannya.
Pengelolaan sampah semakin tidak jelas arahnya. Terbengkalainya tumpukan sampah dengan aroma bau busuk adalah bukti lemahnya manajerial instansi terkait atas limbah ringan ini. Tumpukan sampah tidak akan dijemput oleh petugas kebersihan bila masih sedikit. Sampah itu terus mengendap berhari-hari sampai petugas memungutnya dengan menggunakan kenderaan yang telah disiapkan pemerintah kota.
Endapan sampah yang berhari-hari dengan aroma yang tidak sedap sangat mengganggu kesehatan lingkungan sekitarnya. Gangguan kesehatan dapat terjadi berupa gangguan pernafasan, penyakit kulit, batuk dan lainnya. Gangguan psikologis kepada warga dapat terjadi seperti rendahnya partisipasi kesadaran masyarakat dengan sikap masa bodoh dan egoisme. Endapan sampah juga menimbulkan bahaya banjir tatkala hujan deras mengguyur kota. Curah hujan yang tinggi dengan genangan air dan tumpukan sampah yang berserak menambah daftar panjang persoalan kota. Kota bagaikan anak sungai yang merambah jalanan yang telah merusak infrastruktur dan fasilitas lainnya.
Bagi wilayah perkotaan, sampah merupakan persoalan krusial yang membutuhkan pengelolaan profesional. Pengelolaan sampah bukan sekedar dipungut, lalu dibawa melalui kenderaan khusus ke tempat pembuangan sampah, tetapi sampah juga memiliki peluang ekonomi yang dapat dijadikan sumber pendapatan kota. Daur ulang sampah sesuai dengan jenisnya juga memberikan konstribusi ekonomi bagi pemerintah kota sendiri. Tentu saja pemutakhiran daur ulang sampah dibutuhkan pengelolaan serius yang terukur dengan melengkapi fasilitas pendukung yang berkaitan dengan manafactur daur ulang.
Bagi segelintir orang, tumpukan sampah dapat menjadi sumber pendapatan ekonomi mereka. Dengan memilih dan memilah jenis sampah tertentu, mereka bisa memperoleh rezeki guna menafkahi kebutuhan hariannya. Mereka menjualnya kepada pihak tertentu yang sengaja menampung sampah pilihan itu dengan nilai harga uang. Si pemulung (orang yang menggantungkan hidupnya dengan memilih dan memilah sampah) memperoleh rezeki yang cukup untuk makan perharinya. Esoknya seperti biasa si pumulung berkelana mencari tempat-tempat tumpukan sampah untuk dipilih dan dipilah jenis sampah yang bisa dinilai dengan uang.
Tidak saja si pemulung, pengusaha penampungan sampah pilihan (biasa disebut pengusaha botot) juga ikut menikmati keuntungan ekonomi dari tumpukan sampah pilihan yang dibelinya dari si pemulung. Sampah pilihan tadi dijual ke pabrik guna di daur ulang sesuai dengan jenisnya. Daur ulang pengolahan pabrik menghasilkan berbagai jenis produk bahan baku yang siap dipasarkan kepada masyarakat yang berikutnya kembali menjadi sampah.

1. MASYARAKAT ---> 2.SAMPAH--->3.PEMULUNG--->4.PENGUSAHA--->
5.PABRIK---> DAN AKHIRNYA ----> 6.KEMBALI KEMASYARAKAT

Rotasi lingkaran simbiosis mutualistis menunjukkan arah perputaran saling mengisi atas analisis ekonomi dari pengelolaan sampah. Gambar di atas merupakan siklus lingkaran yang terjadi di dalam dinamika ekonomi tatkala masyarakat membuang sampah dipungut pemulung lalu bermanfaat menjadi peluang ekonomi. Setelah dipilih dan dipilah, si pemulung menjualnya kepada pengusaha penampungan sampah pilihan (botot) lalu dikirim ke pabrik pengolahan untuk dijadikan bahan tertentu guna memenuhi kebutuhan dan dibeli kembali oleh masyarakat. Setelah bahan tersebut digunakan masyarakat, sewaktu-waktu bahan hasil pengolahan pabrik (daur ulang) menjadi sampah kembali. Demikian rotasi lingkaran ini berputar terus menerus sehingga sampah membawa keuntungan materi bagi pihak tertentu.

Sampah Produktif
Penanganan sampah yang tepat memiliki manfaat positif bagi pendapatan ekonomi warga dan pemerintah (PAD). Sampah yang terbengkalai bukan saja menimbulkan masalah bagi penataan kebersihan kota, tetapi juga membawa dampak buruk bagi masa depan penataan kota Medan yang bersih, tertib dan rapi (Bestari). Pengelolaan yang terukur membuat sampah jadi lebih produktif dengan nilai keuntungan (profit) ekonomi alternatif.
Sampah produktif dapat dilakukan melalui proses daur ulang menurut jenis sampah (limbah) yang ditentukan. Ada sampah yang dikeluarkan hasil limbah rumah tangga yang jenis dan bentuknya dapat berupa padat dan cair. Sampah yang terdiri dari bahan plastik, kertas, karet, logam, timah, tembaga, alumunium, besi, botol, kaca, fiber dan lainnya dapat di daur ulang pengolahannya sesuai dengan jenis dan bentuknya. Sampah yang dinilai tidak dapat dilakukan daur ulang bisa pula diolah menjadi pupuk kompos yang peruntukkannya dapat menyuburkan sejumlah jenis tanaman budi daya.
Keunggulan sampah produktif dalam proses dan setelah di daur ulang antara lain ; (1) jenis sampah tertentu dapat dijadikan bahan komoditi baku dengan modal yang ringan dan nilai jual yang bersaing, (2) membuka lahan pekerjaan baru dengan modal keterampilan yang terbatas, (3) menambah pendapatan perkapita bahkan dapat menjadi sumber utama ekonomi keluarga, dan (4) menyuburkan iklim usaha baru khususnya bidang usaha benda bekas dan atau barang yang dianggap tidak dipergunakan (sampah) untuk diolah menjadi komiditi bernilai.
Nilai ekonomi atas pengelolaan sampah produktif sekaligus menjawab permasalahan sampah pada setiap problem kota Medan. Sampah yang selalu menjadi masalah, juga memiliki nilai keuntungan bagi orang perorang, pengusaha dan pemerintah sendiri.
Retribusi sampah dan anggaran yang dialokasikan guna menunjang kelancaran tugas dinas terkait diharapkan dapat menata kebersihan dan keindahan kota. Alokasi anggaran yang tidak sedikit dan ditambah lagi hasil retribusi sampah yang dikutip kepada masyarakat cukup memadai mengelola permasalahan sampah di kota Medan. Sudah tentu pula dukungan partisipasi masyarakat dalam menciptakan kota yang Bestari ikut mempercepat proses penataan kebersihan kota. Keswadayaan masyarakat diharapkan dapat mengontrol anggaran kebersihan agar penggunaannya benar-benar bisa dipertanggungjawabkan sesuai peruntukkannya.

Medan Harus Diselamatkan
Kota Medan yang pernah mendapat penghargaan Piala Adipura sebagai simbolistik kota yang bersih, saat ini kondisinya cukup memprihatinkan. Urutan keenam sebagai kota terjorok di Indonesia cukup menyesakkan nafas pembangunan kota yang seharusnya penghargaan kota bersih yang pernah diterima kota ini dipertahankan.
Kebersihan kota Medan kian memprihatinkan dengan ditemukannya tumpukan sampah di beberapa lokasi inti kota. Tempat sampah yang disediakan tidak mampu lagi menampung banyaknya sampah di lokasi itu. Akhirnya sampah berceceran dijalanan dalam waktu yang relatif lama dan mengeluarkan bau yang menyesakkan pernafasan.
Pelayanan kebersihan Pemko Medan semakin tidak jelas target dan sasarannya. Tempat-tempat penampungan sampah (tong sampah) yang selama ini ditemukan di beberapa lokasi keramaian, kini kondisinya semakin tidak terurus. Kalau kondisi ini terus berlarut maka kehidupan warga semakin tidak sehat akibat polusi udara yang dicemari oleh bau yang ditimbulkan sampah.
Kota Medan harus diselamatkan dari sebuah penataan yang lebih terarah dan bertanggung jawab. Menyelamatkan kota Medan berarti mengangkat kembali marwah citra Pemko Medan dan seluruh elemen warga kota dari suatu nafas kehidupan yang sehat, dinamis dan beradab. Kota yang bersih adalah cermin pemerintahan dan warganya yang menjunjung tinggi nilai religius dan humanis. Nilai religius merupakan bentuk aplikasi ajaran agama tentang hidup bersih itu sehat dan kebersihan menjadi modal pangkal keimanan. Nilai humanis yakni tercermin dari prilaku hidup yang mencintai kebersihan, keindahan dan keteraturan. Prilaku adalah produk dari tampilan diri manusia tentang perasaan, fikiran dan nurani.
Pengelolaan sampah yang terarah dan terukur salah satu bentuk konkrit menyelamatkan kota Medan menjadi bersih kembali. Sampah yang dianggap sebagai salah satu masalah perkotaan dengan upaya produktif merekonstruksi daur ulang memiliki nilai keuntungan yang tidak sedikit. Kita berkeyakinan, dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa dan dukungan semua pihak guna, kota Medan dapat ditata menjadi lebih tertib, religius dan beradab.


Medan, 17 Juni 2008

Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum
Penulis Alumni dan dosen UMA, alumni Pascasarjana USU
dan mantan Kasatlantas Poltabes MS.
Email ; safwan khayat@yahoo.com.

Rabu, 04 Juni 2008

Mematuhi Pemimpin Dalam Islam


Oleh, Kompol Drs. Safwan Khayat. M.Hum



Tatkala Allah SWT hendak menjadikan sosok pemimpin (khalifah) di muka bumi spontan saja makhluk yang sudah berabad tahun bertasbih memuji kebesaran Allah SWT yakni para Malaikat bertanya tentang eksistensi sosok pemimpin yang akan dijadikanNya. Bisa jadi situasi waktu itu (penulis sedikit berillustrasi) para Malaikat memberanikan diri bertanya kepada Sang Khaliq bahwa kehadiran makhluk baru selain komunitas mereka sendiri (para malaikat & jin) akan berbuat lain selain rutinitas yang mereka lakukan bertasbih memuji keagungan Allah SWT dan bekerja sesuai dengan tata aturan Sunnatullah tanpa sedikitpun mengingkarinya. Lebih dari itu, sosok makhluk baru nantinya dijadikan Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi yang kedudukannya jauh lebih terhormat di atas makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT yang telah diciptakanNya.

Situasional ini termaktub dalam kalam Ilahi kitab suci Al Qur’an yang diyakini sebagai kitab rahmatan lil alamin dalam surat Al Baqarah 30 yakni ;

Ingatlah tatkala Allah berfirman kepada para Malaikat ; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan sosok makhluk sebagai khalifah di muka bumi”. Malaikat bertanya ; “Mengapa Engkau hendak menjadikan makhluk itu di bumi padahal nantinya makhluk itu gemar berbuat kerusakan dan tindakan kriminal yang melanggar aturan hukum dari Mu, padahal kami Kau jadikan senantiasa menjalankan perintah Mu tanpa berani mengingkari hukum Mu dengan selalu memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?” Allah menjawab: “Aku Maha Mengatahui apa saja yang tidak kamu ketahui”.

Substansi dari pemaknaan firman tersebut jika dikaji lebih lanjut bahwa seluruh makhluk yang telah diciptakanNya belumlah makhluk yang paripurna. Makhluk yang diberi julukan Manusia dengan pemberian sebutan nama Adam dalam surat Al Baqarah ayat 31-34 memiliki kesempurnaan lahiriah dan bathiniah dari makhluk lainnya..

Allah mengajarkan kepada Adam (panggilan makhluk baru itu) tentang sejumlah jenis ciptaanNya, lalu Allah (ajarkan pula kepada Malaikat tentang hal yang sama) dengan berfirman kepada Malaikat : “coba kamu sebutkan atas apa yang telah Aku ajarkan kepadamu jika kamu memang lebih baik darinya”. (QS..2.31) Lalu Malaikat menjawab ; “Maha Suci Engkau, kami tidak tahu selain yang kami ketahui, hanya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.2.32) Allah Berfirman : “Adam, ajarkan mereka atas seluruh nama ciptaan Ku agar mereka menyadari kelebihanmu. Lalu Adam menjelaskan kepada mereka hingga mereka tertegun. Allah kembali berfirman : “Sekarang kalian sudah tahu atas kelebihan Adam sebagaimana yang Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta apa saja yang kamu lakukan dan sembunyikan.(QS.2.33) Tatkala pula Allah perintahkan para Malaikat bersujud kepada Adam, para Malaikat pun bersujud kecuali makhluk Iblis dengan sikap enggan dan sombong bahwa ia golongan orang yang kafir.(QS.2.34).

Dalam konteks ini penulis batasi ada substansi lain dari rasionalisasi tafsir sosial mendeskripsikan bahwa memuliakan pemimpin dengan mematuhinya dan mengakui keunggulannya adalah perintah Allah. Tulisan ini tidak mendiskusikan tentang asal muasal makhluk Manusia melalui Adam sebagai simbolistik makhluk di muka bumi, tetapi menilik aspek kepemimpinan bahwa Allah mengajarkan kepada makhluk ciptaanNya (tanpa terkecuali) mematuhi pimpinan (khalifah).
Perintah Allah SWT kepada makhluk selain manusia Adam cukup jelas bahwa kelebihan manusia dengan segala bentuk jasmaniah dan rohaniah dapat mengungguli makhluk lain terhadap apa saja bentuk fenomena ciptaan Allah yang telah diajarkan kepada seluruh makhlukNya. Sebagai makhluk unggulan, Adam dengan kelebihannya mampu mengajarkan nama-nama benda ciptaan Allah kepada makhluk yang ada pada waktu itu. Atas keunggulannya pula, Adam yang didaulat Allah sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil alrd) turut pula dimuliakan Allah dengan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud sebagai wujud penghormatan atas ketinggian derajat Adam.
Ayat tersebut juga menjadi illustrasi sosial bahwa di muka bumi juga terjadi adanya sekumpulan manusia yang tidak mengakui keunggulan orang lain. Bentuk ketidak akuan atas kelebihan orang lain menjadi pemimpinnya yakni tidak menghormati segala bentuk perintah atau keputusan pimpinan dengan sikap perlawanan dan kesombongan. Hal ini bila dikaitkan dengan firman Allah di atas merupakan peristiwa ulang yang pernah terjadi tatkala Iblis tidak mengakui segala kelebihan manusia Adam atas dirinya. Iblis dengan enggan dan kesombongannya tetap bersikukuh bahwa dirinya jauh lebih unggul daripada Adam. Islam mengajarkan tata cara mematuhi pemimpin atas segala keunggulan yang dimilikinya. Seorang yang dinobatkan sebagai pimpinan tentu mereka yang dinilai memiliki keunggulan sekalipun relatifitas tetap ada sebagai wujud keterbatasan manusia itu sendiri. Tetapi ajaran Islam tetap mengajarkan etika menghormati kelebihan orang lain sebagai pemimpin kita.

“Duhai kaum yang beriman, ta’atilah Allah, Rasul(Nya) dan pemimpin di antara golongan kamu. Jika kamu berselisih paham dalam memandang suatu persoalan, maka coba rujuk firman Allah (Al Qur’an) dan sabda Rasul (Sunnahnya). (QS.4.58).

Sekilas himbauan ayat tersebut cukup jelas bahwa kita diperintahkan agar mentaati pemimpin. Ayat ini pula memberikan solusi jika dalam proses kepemimpinan terjadi perbedaan persepsi, maka kita harus merujuk ketentuan yang digariskan Allah dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul (ajaran Islam).

“Duhai kaum beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara utuh (paripurna), dan janganlah perturuti perilaku Syaitan. Sebab Syaitan itu musuh yang nyata.(QS.2.208)

Tetapi yang menjadikan pertanyaan adalah, bagaimana jika perselisihan itu mengalami jalan buntu (deadlock) padahal Al Qur’an telah memberikan solusinya dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul(Nya) ? Kepada siapa figur alternatif yang harus dijumpai untuk mencairkan perselisihan itu ? Islam sebagai agama rahmatan lil alamin berisikan kesempurnaan ajaran tentang seluruh pranata sosial. Islam juga mengajarkan bahwa peranan ulama sebagai penerus Nabi dalam menjabarkan ajaran Islam dalam utuh (kaffah) cukup strategis. Figur ulama tidak boleh kita tinggalkan tatkala ditemukan jalan buntu dalam mencairkan perselisihan. Sebab Islam telah mengajarkan dalam Al Qur’an adanya sekelompok manusia pilihan (selain Rasul) yang bisa menjadi mediator memecahkan perselisihan di antara manusia.

“Di antara manusia, ada orang yang selalu menyerahkan dirinya mencari keridhaan Allah (ulama), dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.(QS.2.207)

Islam juga mengajarkan bahwa segala sesuatu jika kita terbentur mencari solusi harus menanyakan kepada ahlinya (fas ahlul dzikri in kuntum la ta’lamuun). Para ahli itu adalah pemimpin di antara golongannya yang menguasai akar persoalan yang lebih unggul di antara golongannya. Keahlian seseorang dinilai dari kemampuan atau keunggulannya melakukan olah fikir yang konstruktif serta ketepatan dan kecermatan dalam bertindak. Bagi yang berselisih harus pula berjiwa besar ketika menerima petunjuk yang diberikan tanpa mencampur adukkan antara yang hak (substansial) dengan yang bathil (insubstansial).

“Janganlah kamu mencampur adukkan yang Hak dengan yang Bathil, dan jangan pula kamu sembunyikan yang Hak itu, padahal kamu sendiri mengetahuinya. (QS.2.42).

“Jika kamu menyimpang sesudah ditunjukkan solusi bukti kebenaran kepadamu, maka sadarlah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.2.209).

Penutup
Mediasi lain juga bisa dijadikan tempat mencairkan perselisihan. Kita juga mengenal lembaga-lembaga tertentu sebagai mediasi membantu setiap persoalan di dalam proses kepemimpinan. Tetapi dalam Islam sesungguhnya telah jelas bahwa aturan kita mentaati dan menghormati pemimpin adalah perintah tegas oleh Allah yang ditujukan kepada makhluknya. Sekalipun dalam prakteknya telah ditemukan adanya bentuk sikap tidak menghormati pemimpin sebagaimana halnya deskripsi Al Qur’an atas sikap Iblis terhadap Adam, tetapi Islam telah pula memberikan jawaban tentang solusinya (problem solved).



*Penulis adalah Mantan Kasatlantas Poltabes MS, Alumni UMA dan USU serta dosen Universitas Medan Area.

Kamis, 15 Mei 2008

AL QALAM KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM





Apabila berbicara mengenai kepimpinan, Islam menentukan bahawa bidangnya amat luas. Lebih tinggi bidang kepimpinannya lebih besar pula tanggungjawabnya. Pemimpin tidak hanya memimpin di dalam sebuah negara, malah pemimpin dalam islam ialah setiap orang yang diberikan tanggungjawab mengendalikan sesuatu urusan. Oleh kerana setiap orang mempunyai tanggungjawab ini maka setiap orang itu mempunyai peranan memimpin. Contohnya seorang bapa diberi tugas memimpin keluarganya, maka ia adalah pemimpin keluarganya. Begitu juga seorang ketua negara yang diberi tugas memimpin rakyat di negaranya, maka ia adalah pemimpin rakyat di negaranya.Kepimpinan Menurut Istilah Al-Quran
Dalam Al-Quran terdapat beberapa istilah yang diertikan sebagai pemimpin atau yang secara langsung yang menyentuh hal ehwal kepimpinan, antaranya :


Imam/Imamah
Merupakan satu jawatan yang berperanan sebagai penunjuk jalan kepada sesuatu arah atau tempat atau memimpin dengan contoh teladan di mana imam itu sendiri mesti melaksanakannya lebih awal dari orang yang dipimpin. Contohnya dalam konteks kewajipan memimpin sembahyang, imam mengangkat takbir dan makmum turut mengangkat takbir sebagaimana imam bertakbir. Begitulah seterusnya dalam segala perbuatan mengerjakan sembahyang itu, apa-apa perlakuan imam mestilah dituruti oleh makmum, oleh itu imam sebagai pemimpin ( leader ) dan makmum sebagai pengikut ( follower ).


Khalifah
Merupakan suatu jawatan bagi mengantikan seseorang atau mengambil tempat mengikut atau meneruskan. Dalam sejarah kepimpinan Islam, khalifah merupakan penganti Rasulullah S.A.W dalam menerus, mengurus dan mentadbir negara islam.Khalifah ialah sebagai pentadbir, penguasa, pengatur dan pemakmur yang bertanggugnjawab mengatur kehidupan manusia di bumi dengan berdasarkan kepada wahyu dan syariat Allah supaya kehidupan manusia itu teratur dan mempunyai tujuan-tujuan hidup yang suci murni lagi mulia untuk mencapai keredhaan allah. Manusia sebagai khalifah ( vicegerent ) yang merupakan wakil Allah di bumi adalah berkewajipan mendirikan institusi kepimpinan yang diredhai oleh Allah.

Amir Al-Mukminin
Merupakan suatu jawatan atau kedudukan dalam kepimpinan yang bermaksud sebagai memberi arahan, pemberi tugas, pemerintah atau mengamanahkan seseorang dengan tugas. Dalam sejarah pemerintahan islam, Amir Al Mukminin merupakan pemerintah masyarakat atau ketua negara islam.


Uli Al-Amri
Merupakan suatu jawatan atau kedudukan dalam kepimpinan yang menjalankan tugas dan amanah untuk mentadbir dan mengendalikan urusan dunia sesuai dengan syariat Allah. Oleh sebab itu adalah menjadi kewajipan kepada rakyat mematuhi apa yang diperintahkan oleh Uli Al Amri sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 59 yang bermaksud :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah S.A.W dan kepada Uli Al-Amri ( orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah ( berselisihan ) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) Rasul-Nya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya.”Selain daripada itu ada juga istilah yang dipakai bagi maksud yang berkaitan dengan kepimpinan dalam sesuatu kumpulan kerohanian seperti istilah: Mursyid ( penunjuk ), Syeikh ( Ketua ), dan Murabbi ( Pendidik ).
Objektif/Matlamat Kepimpinan


Pada asasnya matlamat kepimpinan adalah :
Untuk pengabdian/perhambaan diri kepada Allah. Firman Allah dalam Surah Az-Zariyat ayat 56 yang bermaksud:
“Dan tidak Aku ( Allah ) ciptakan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepada aku ( Allah ). ntuk mencapai keredhaan, keberkatan dan rahmat dari Allah serta RasulNya. Firman Allah dalam Surah At-Taubat ayat 62 yang bermaksud:

“….Yang sepatutnya mereka cari ialah keredhaan dari Allah dan RasulNya, sekirannya mereka adalah dari orang yang beriman”
- Untuk mencapai kesempurnaan akhlak yang mulia. Firman Allah dalam surah Al-Qalam ayat 4 yang bermaksud:


- “Sesungguhnya engkau ( Muhammad ) mempunyai budi pekerti ( akhlak ) yang mulia"-Untuk menyeru berbuat baik dan mencegah kejahatan-Untuk mencapai kebahagian, kesenangan, kesejahteraan dan keselamatan manusia sejagat dunia dan akhirat.


Kepimpinan Sejagat
Kepimpinan ( leadership ) nabi Muhammad S.A.W adalah contoh ideal dan praktikal yang semestinya diikuti oleh seluruh umat. Baginda diutuskan untuk membimbing seluruh umat, wilayah kepimpinan baginda meliputi alam sejagat dan tidak dibatasi oleh sempada geografi serta tidak pula dikhususkan oleh sesuatu bangsa, kebangsaan dan negara. Dengan demikian kepimpinan baginda adalah bersifat sejagat. Firman Allah dalam Surah Saba’ ayat 28 yang bermaksud:
“dan tiadalah kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan untuk umat manusia seluruhnya sebagai Rasul pembawa berita gembira (kepada orang-orang yang beriman) dan pemberi amaran (kepada orang-orang yang ingkar), akan tetapi kebanyakkan manusia tidak mengetahui hakikat itu”


Kepimpinan Sebagai Tanggungjawab Dan Dugaan
Menjadi seorang pemimpin, maka bertambah kewajipan seseortang dan makin banyak soalannya dihadapan Allah. Oleh itu, pemimpin di dalam Islam, bukanlah menjadi rebutan. Rasulullah S.A.W telah meletakkan asas-asas supaya pemimpin itu tidak difahami sebagai keistimewaan tetapi tanggungjawab. Meskipun semakin besar tanggungjawab,semakin besar pula ganjaran baik yang disediakan Allah di hari akhirat kepada sesiapa yang melaksanakan tanggungjawab itu. Namun jika tanggungjawab itu diabaikan,maka besarlah risiko dan akibatnya di hari akhirat.Oleh itu Rasulullah S.A.W sangat berhati-hati supaya pemimpin itu berada di tangan orang yang kuat dari segi ketaatan kepada Allah, kekuatan peribadi dan jasmani, kepintaran akal dan dihormati oleh rakyat. Baginda berhati-hati supaya jangan pemimpin itu jatuh ke tangan orang yang lemah syakhsiahnya sehingga ia lemah melawan nafsunya. Jika ia seorang yang lemah melawan nafsunya sendiri, maka ia tidak dapat mematuhi allah dan tidak terselamat dari factor-faktor kehancurtan seperti rasuah, maksiat dan lain-lain.
Abu Zar Al-Ghaffari meriwayatkan, saya berkata kepada Rasulullah S.A.W Tidakkah Tuan hendak melantik saya untuk mengetuai sesuatu urusan? Rasulullah S.A.W menepuk bahu saya dan berkata,” wahai Abu Zar, engkau adalah lemah, sedangkan pemimpin itu suatu amanah. Di hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan melainkan mereka yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajipan yang ditentukan di dalamnya”.
Abu Zar bukanlah seorang yang tidak taat kepada Allah dan dikuasai nafsu tetapi dia adalah seorang manusia yang lemah dalam mengambil tindakan, dia adalah seorang yang lurus hati dan mempunyai kelemahan yang menghalangnya bersikap tegas kepada kawan dan lawan. Itu pun dianggap oleh Rasulullah S.A.W apatah lagi orang yang kalah di hadapan nafsu, jahil dan tidak beramal.
Rasulullah S.A.W juga menetapkan dasar bahawa pemimpin itu tidak diberikan kepada orang tidak berkelayakan yang meminta atau berusaha dengan tipu daya supaya dia dijadikan pemimpin, kerana sikap seperti itu akan menjadikan pemimpin itu satu rebutan dan lahir kegiatan serta pengaruh-mempengaruhi yang menyebabkan pertimbangan yang betul untuk lantikan menjadi kacau bilau dan menyeleweng. Oleh itu lantikan itu hendaklah dijalankan dengan pertimbangan yang objektif dan dengan hasrat yang bersih dan suci.
Justeru dalam kepimpinan sesebuah negara, tegak atau robohnya sesebuah negara, maju atau mundurnya peradaban manusia, timbul atau tenggelamnya sesuatu bangsa adalah bergantung kepada baik atau buruk pentadbiran dan kepimpinan yang dimiliki, Para pemimpin atau ketua yang telah dilantik hendaklah melantik pembantu-pembantu yang jujur dan berkebolehan. Tanda-tanda kejujurannya ialah sentiasa bersikap beriman dan tidak mengampu sehingga membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud:
“Apabila Allah S.W.T menghendaki seseorang ketua itu menjadi ketua yang baik, ia akan jadikan pembantunya itu bersikap benar. Jika ia lupa ( lupa kepada Allah dan menyeleweng dari kebenaran ) ia mengingatkannya. Jika ia tidak lupa, ia memberi pertolongan dan bantuan kepada ketuanya itu. Jika Allah menghendaki ketua itu menjadi ketua yang lain daripada itu, dijadikan pembantunya seorang yang jahat, jika ia lupa tidak diingatkanya dan jika ia ingat tidak dibantunya” ( diriwayatkan oleh Abu Daud ).


Oleh kerana tugas pemimpin itu berat dan luas, maka ganjaran baik yang disediakan untuk pemimpin di akhirat yang menjalankan kewajipannya adalah besar. Dianatara tujuh orang yang disebut oleh Rasulullah S.A.W yang akan mendapat perlindungan Allah ialah pemerintah yang adil yang diletakkan di senarai yang pertama. Sebaliknya mereka yang menjadi pemimpin sedangkan dia tidak memiliki ciri-ciri kepimpinan yang selayaknya dan tidak menjalankan kewajipannya maka ia akan menerima balasan yang pedih.Seksaan Allah bertambah berat lagi bagi sesiapa yang menjadikan kedudukannya sebagai pemimpin sebagai jalan untuk kepentingan dirinya dan menipu orang-orang yang dipimpinnya.


Oleh kerana tugas pemimpin adalah besar dan tugas itu tidak dapat dijalankan melainkan dari kerjasama orang yang dipimpinnya maka Allah menentukan supaya orang yang dipimpin itu hendaklah mematuhi ketuanya di dalam semua suruhan yang disukai atau tidak kecuali suruhan untuk melakukan maksiat dan melanggar hukum-hukum Allah.


Sesungguhnya setiap orang itu mempunyai tugas-tugas kepimpinan. Sebaik-baik kepimpinan ialah kepimpinan Rasulullah S.A.W kerana kepimpinan baginda sentiasa berpandu kepada wahyu, syariat dan petunjuk Allah dalam kepimpinan sejagat. Sebagai pemimpin sewajarnya bertanggungjawab menyambung risalah baginda ke arah memakmur, memperbaiki, menegakkan keadilan, mententeramkan serta berkesanggupan untuk meningkatkan ketinggian nilai dan martabat seluruh umat manusia. Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud:
“setiap orang daripada kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin itu bertanggungjawab mengenai apa yang dipimpinnya”(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Minggu, 11 Mei 2008

Hadirnya Calon Independen


Akhirnya kehadiran calon perseorangan untuk berlaga dalam pilkada diakui sudah. DPR dan pemerintah menyepakati kehadiran calon independen melalui revisi UU No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah. Telat tetapi itulah fakta dan fenomena politik di Indonesia. Tidak mudah menghadirkan pembaruan yang baik, sekalipun karena terlalu banyaknya kepentingan yang berada di dalam suatu masalah. Ambil contoh mengenai penetapan calon perseorangan ini. Keputusan MK atas hal ini sebenarnya sudah lama disampaikan. Namun untuk memulai pembahasan kala itu, kelihatan sekali ada keengganan di kalangan politisi kita. Kehadiran calon independen dianggap sebagai gangguan bagi mereka yang terlebih dahulu memiliki kemapanan melalui parpol untuk diusung sebagai Kepala Daerah dan Wakilnya. Sebelumnya memang untuk bisa dicalonkan sebagai Kepala Daerah dan Wakilnya, seseorang tidak dapat melakukannya tanpa kendaraan. Hal ini dilatarbelakangi oleh semangat untuk meningkatkan peran parpol pasca pemberangusan di masa Orde Baru.
Pada praktiknya, semangat untuk menghadirkan peran parpol tersebut dengan lebih baik diterjemahkan berbeda. Setiap calon yang hadir melalui parpol ternyata lebih sering menjadi sapi perah parpol. Selain harus membayar sejumlah biaya (ongkos politik), mereka juga tidak kerap membawa misi kepentingan parpol. Padahal ketika sudah menjadi Kepala Daerah, mereka seharusnya adalah milik masyarakatnya. Itu sebabnya ketika calon independen diputuskan oleh MK ada semacam ”teguran” halus kepada parpol di dalamnya. Parpol dianggap sudah tidak kapable lagi untuk membawa misi kepemimpinan di masyarakat, selain dari pencalonan kadernya sendiri. Kelak Kepala Daerah dan Wakilnya yang diusung oleh parpol adalah kader parpolnya sendiri, yang harus dibesarkan dan dibentuk supaya berkualitas pemimpin, bukan kader karbitan bermodalkan uang.
Selain itu, kehadiran calon independen adalah pengakuan atas keadilan dalam berpolitik dan berdemokrasi. Calon independen adalah saluran bagi masyarakat yang kebanyakan tidak punya peluang untuk menjadi Kepala Daerah atau Wakilnya. Bagi mereka, keadilan dalam berpartisipasi jelas sangat terbuka asalkan memperoleh dukungan minimal 3 sampai 6,5 persen pada awalnya.
Memang, proses pembahasan mengenai calon independen ini tidak mudah diselesaikan oleh DPR. Tarik menarik kepentingan termasuk kompensasi atas diterimanya pasal ini adalah sebuah rahasia umum. Ada isu yang berkembang bahwa diterimanya pasal mengenai calon independen oleh DPR berakibat pada berbagai pasal lain di dalam UU yang sama, termasuk penundaan keluarnya aturan pelaksana oleh KPU.Namun sebagai sebuah produk politik, keberadaan calon independen juga bukan berarti bebas dari kepentingan. Untuk menjadi calon independen jelas dibutuhkan penggalangan dana yang sangat besar. Mengingat dukungan yang sangat besar diperlukan, maka calon independen harus memiliki modal yang sangat tidak sedikit.
Ada risiko bahwa calon independen adalah mereka yang menjadi alat bagi mereka yang ingin mencuci uang(money Laundring) atau kejahatan hitam lainnya, atau mereka yang juga punya kepentingan terhadap sosok tertentu. Hal ini jelas juga bisa menjadi masalah kelak. Karena itu, sosok calon independen tetap harus dikritisi dan dijadikan sebagai eksperimentasi demokrasi yang lebih baik, bukan justru untuk memperburuk hasilnya.Bagaimanapun, meski di Sumut sudah telat, kita berharap bahwa kehadiran calon independen akan membawa semangat baru dan etika baru dalam berpolitik di negeri ini. Semuanya demi kepentingan masyarakat yang terkadang mulai jenuh dengan praktik politik yang sangat parpol sentris.

Kamis, 17 April 2008

Menata Medan Kota Peradaban


Menata Medan Kota Peradaban
Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum



Sesungguhnya ada 2 (dua) segmentasi yang menjadi titik fokus dalam tulisan ini yaitu; pertama, mendeskripsikan kota Medan yang pertumbuhannya cukup pesat khususnya pada sektor perekonomian sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa). Tidak sampai disini saja, kota Medan juga produktif merias wajahnya dengan tatanan kehidupan penduduknya yang dinamis, toleran dan religius. Maka tidak heran bila dalam peristiwa tertentu, kota ini tampil bagaikan kota biru yang selalu mengkumandangkan alunan irama “zikir” yang bernafas budaya, agama dan kebangsaan. Walau didiami oleh kemajemukan penduduknya, kota Medan yang tumbuh sebagai kota Metropolis tetap menjaga nuansa keberTuhanan dari masing-masing pemeluknya. Sungguh sebuah tampilan kota yang representatif di masa kepemimpinan Walikota Medan Drs.H.Abdillah Ak.MBA dan Wakilnya Drs.H. Ramli Lubis. MM.
Kedua, menggagas pertumbuhan kota dengan menata kota Medan yang tertib, religius dan beradab. Untuk pembahasan ini memfokuskan tentang konsep dan arah pembangunan kota Medan yang lebih santun dengan memperhatikan aspek kepentingan kemanusiaan.

Sekilas Tentang Kota
Pada umumnya kota diartikan sebagai suatu permukaan wilayah pemusatan (konsentrasi) penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintahan. Secara lebih rinci deskripsi tentang kota meliputi lahan geografis utamanya untuk permukiman; berpenduduk dalam jumlah relatif banyak (besar); diatas lahan yang relatif terbatas luasnya; mata pencaharian penduduk di dominasi oleh kegiatan non-pertanian; sebagian besar merupakan kegiatan bergerak pada sektor jasa atau tersier (perdagangan, transportasi, keuangan, perbankan, pendidikan, kesehatan dan jasa lainnya), serta pola hubungannya antar individu dalam masyarakat dapat dikatakan lebih bersifat rasional, ekonomis dan individualistis.
Berbagai pakar sosiologi cukup banyak menguraikan analisis teoritik tentang defenisi kota. Grunfeld seorang pakar sosiolog berkebangsaan Belanda menggambarkan bahwa kota adalah suatu permukiman dengan jumlah kepadatan penduduk yang lebih besar, memiliki struktur mata pencaharian non-agraris dan tata guna tanah yang beraneka ragam serta ditemukan lokasi gedung yang berdiri tinggi dengan letak yang berdekatan.
JH.De Goode seorang ahli sosiolog perkotaan juga tidak jauh beda mendeskripsikan tentang kota. Analisis yang paling dominan ia uraikan mendeskripsikan ciri khas kota yaitu ; a) sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) dalam praktek ekonomi lebih dominan dan berperan besar, b) jumlah kepadatan penduduk relatif lebih besar, dan c) susunan populasi penduduk lebih heterogen.
Banyak sekali defenisi tentang kota yang dituliskan para pakar, tetapi konsep umum yang menjadi “kesepakatan” bahwa kota memiliki indikator tentang wilayah permukiman, tata ruang tanah, kepadatan populasi penduduk, perdagangan, lalu lintas dan transportasi, jasa keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, ekonomi industri, ekonomi non-agraris, telekomunikasi dan pola hubungan warga yang bersifat rasionalis, ekonomis dan individualistis.
Temuan Louis Wirth dalam penelitian catatan lapangannya (field notes) menjelaskan tentang kota ditemukan ;
Pertama, banyaknya relasi kota menyebabkan tidak memungkinkan terjadinya kontak-kontak yang lengkap di antara individu-individu. Di dalam masyarakat yang besar terjadi segmentasi hubungan-hubungan di antara manusia. Kalau jumlah relasi terlalu besar, maka orang hanya saling mengenal dalam satu peranannya saja; misalnya di antara pelayan toko dan pembeli, atau supir taksi dan penumpangnya, mereka tanpa perlu mengetahui sesuatu tentang keadaan keluarga masing-masing, atau pandangan hidup masing-masing pihak yang berhubungan itu.
Kedua, orang kota harus melindungi dirinya sendiri agar tidak terlalu banyak berhubungan yang bersifat pribadi dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi terhadap waktu dan tenaga yang ada padanya. Ia juga harus menjaga diri terhadap potensi-potensi yang merugikan atau membahayakan dirinya pribadi dan keluarga, maupun kebudayaanya.
Ketiga, kebanyakan hubungan orang-orang kota digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu saja.
Keempat, orang kota memiliki sikap emansipasi atau kebebasan untuk menghindari dari pengawasan oleh kelompok kecil atas keinginan dan emosinya. Keadaan ini mengandung bahaya timbulnya semacam situasi anomi (keadaan yang kurang harmonis atau renggang dengan norma-norma yang dianut masyarakat).
Uraian ini bagi kota Medan cukup melekat dengan deskripsi tentang wajah perkotaan. Secara geografis kota Medan yang berada pada posisi 30 30’ – 30 43’ lintang utara dan 980 35’ – 980 44’ bujur timur berdasarkan sensus terakhir tahun 2005 mencapai ± 2.036.018 jiwa dengan kemajemukan budaya penduduknya seperti suku Melayu, Jawa, Batak, Mandailing, Tionghoa, Minang dan suku/etnis lainnya. Kondisi permukaan tanah cendrung miring ke utara yang tepatnya berada ketinggian 2,5 – 37,5 M di atas permukaan laut. Jumlah luas kota ini ± 265,10 km2 terdiri dari 151 kelurahan yang seluruhnya berada di wilayah 21 kecamatan yakni Tuntungan, Johor, Amplas, Denai, Area, Kota, Maimun, Polonia, Baru, Selayang, Sunggal, Helvetia, Petisah, Barat, Timur, Perjuangan, Tembung, Deli, Labuhan, Marelan dan Belawan. Menariknya lagi, kota ini juga dikelilingi 8 sungai yang melintasi kota yaitu Sungai Belawan, Sungai Badra, Sungai Sikambing, Sungai Pulih, Sungai Babura, Sungai Deli, Sungai Sulang-Saling dan Sungai Kera.
Pertumbuhan ekonomi kota Medan terbilang pesat, cukup banyak ditemukan berbagai gedung kokoh sebagai pusat bisnis, perkantoran, pendidikan, hiburan dan perhotelan (lihat Safwan Khayat, Tembakau Citra Popularitas Kota Medan di Mata Dunia, Harian Analisa, Medan, Rabu 26 Maret 2008, hal 28 & 32). Kebijakan pemerintah kota dalam mendorong tumbuhnya sektor kegiatan usaha mikro dan makro menstimulasi sejumlah kalangan investor untuk menanamkan permodalannya. Hal ini membuka peluang dunia usaha disamping tetap mempertahankan karakteristik kota Medan sebagai kota sejarah dan kebudayaan.
Pemerataan pembangunan tidak saja di seputar inti kota, tetapi juga telah merambah ke area lingkar luar inti kota yang dalam proses dinamika masyarakatnya telah bersentuhan langsung dengan masyarakat tetangga di luar kota Medan. Kondisi ini turut mendorong pemerintah kota memperbaiki infrastruktur yang ada dengan membuka seluruh jaringan akses yang dimiliki guna memudahkan penyebaran visi pembangunan khususnya dalam menambah dan meningkatkan taraf hidup warga. Berbagai bentuk kemudahan fasilitas, pelayanan administrasi pemerintahan dan bentuk-bentuk bantuan pemeerintah kota kepada warga dinilai positif sekalipun masih membutuhkan perbaikan kinerja yang lebih proporsional dan profesional.
Dengan jumlah kepadatan penduduk lebih dari 2 juta jiwa, pemerintah kota bersama unsur Muspida dan seluruh elemen warga kota mampu bekerjasama dan sama-sama bekerja menjaga dan mempertahankan kehidupan kota yang visionis, produktif dan agamais. Pemerintah kota Medan mampu merajut image terhadap warga kota dengan memberikan dorongan dan suggesti bahwa kota tidak akan mampu bergerak maju bila tidak dibangun kerangka bangunan yang silang dan saling bekerjasama. Kondisi menciptakan kepedulian yang seimbang sehingga memudahkan bagi pemerintah kota untuk menggerakkan potensi kota guna mewujudkan kehidupan perkotaan yang lebih sejahtera.
Disadari pula, gebrakan pembangunan pemerintah kota juga diperlukan beragam solusi pemikiran dan kinerja yang harus diperbaiki. Keadaan ini wajar untuk dicetuskan mengingat detik perdetik pertumbuhan kota yang kini telah menjadi kota Metropolis memerlukan perbaikan penataan yang lebih signifikan. Penataan kota tidak saja menata gerakan pembangunan fisik saja, tetapi jauh lebih terpenting dengan melakukan perbaikan sudut pandang dengan membuka cakrawala dialog melalui pendekatan perspektif kemanusiaan, budaya, politik, sosial-ekonomi, sejarah, idiologi pembangunan dan cita-cita kolektif warga. Ruang dialog ini harus lebih subur dan produktif antara pemerintah kota dengan warga kota khususnya hal-hal yang berkaitan dengan dinamika masalah perkotaan. Intensitas dialog juga dapat merajut keakraban, keserasian, jiwa besar, pemikiran holistik dan jernih dan sikap tanggungjawab. Lebih dari itu, intensitas dialog mempersempit gerak provokasi pihak ketiga dalam memecah belah keharmonisan pemerintah kota dengan warga sehingga menjauhi ruang konflik sosial.

Masalah Kota
Bila diindentifikasi permasalahan perkotaan yang krusial antara lain ; lahan pekerjaan dan kemiskinan, tata ruang tanah dan permukiman, jumlah kepadatan penduduk, kesehatan dan pendidikan. Tetapi yang tidak kalah pentingnya lagi, kota juga memiliki masalah yang teramat sulit dipecahkan yakni persoalan transportasi dan lalu lintas yang setiap hitungan detik pula terus berubah-ubah. Bertambahnya volume kendaraan tidak diimbangi dengan kondisi badan jalan yang terus menyempit sehingga tetap saja memiliki dampak sosial bagi kelancaran arus lalu lintas. Penyempitan badan jalan juga terasa tatkala tata aturan perpakiran yang kurang memperhatikan keadaan lapangan; parkir sembarangan; menurunkan dan menaikkan penumpang bukan tempatnya serta pemanfaatan badan jalan dan lahan trotoar yang terpakai untuk berdagang semakin melengkapi kesemrawutan lalu lintas kota. Akumulasi masalah kota inilah yang paling sering muncul bagi wajah perkotaan khususnya kota Medan.
Ada beberapa yang menjadi gagasan dalam tulisan ini sebagai bahan diskusi dalam menata kota ini menuju kota yang lebih manusiawi sehingga bernilai kekuatan peradaban yakni ;
Pertama, mengembangkan ruang akademik yang membawa warga secara psikososial membuka diri untuk berdialog dan bersosialisasi terbuka tanpa prasangka negatif. Ruang ini mewujudkan budaya tradisional bangsa kita yang penuh ramah tamah dengan sandaran etika demokrasi, budaya santun, saling menghargai dan merajut ketulusan guna membentuk kualitas fisik arsitektur kota yang menarik, tertib, religius dan beradab.
Kedua, memanfaatkan lahan tidur (kosong) inti kota dengan melakukan revitalisasi menjadi ruang terbuka (open space) sehingga berfungsi sebagai paru-paru kota, objek wisata inti kota dan sekaligus tempat aktifitas warga. Ruang kota menjadi lebih hidup, segar dan alami dengan kombinasi pembangunan fisik yang selaras dengan pembentukan karakteristik kegiatan warga yang manusiawi dan bermartabat. Tata ruang kota jangan terlalu mementingkan aspek pembangunan fisik kota saja, tetapi juga pula memperhatikan aspek pembangunan mentalitas kemanusiaan.
Ketiga, memanfaatkan trotoar hanya untuk pejalan kaki. Trotoar selama ini hanya dianggap sebagai acesories pelengkap jalan raya bagi kenderaan bermotor. Fokus pembangunan kota masih kurang memperhatikan kepentingan manusiawi bagi kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki. Hampir tidak ada perencanaan dan perhitungan yang matang tentang pemanfaatan ruang trotoar ini. Semakin padatnya jumlah kenderaan bermotor tidak lagi menyisakan kepentingan jalur pejalan kaki dan jalur hijau. Pembangunan sarana jalan lebih banyak berpihak pada kepentingan kenderaan bermotor, padahal kota dapat menjadi hidup bila pembangunan harus berlandasan tolak ukur kemanusiaan. Perlu kita pertimbangkan secara serius bahwa sarana jalan untuk pejalan kaki adalah juga memperhatikan dan menghormati sisi kemanusiaan bagi pejalan kaki (yang tidak menggunakan atau memiliki kendaraan bermotor). Bila perlu, pemerintah kota membuat perdanya dengan membuat sanksi hukum yang tegas bagi siapa saja yang menggunakan trotoar yang tidak sesuai peruntukkannya. Atas dasar ini pula, pihak terkait dapat mengambil sikap agar pejalan kaki yang menggunakan trotoar tercipta rasa aman secara fisik yakni dapat berjalan dengan tenang tanpa merasa terganggu, dan rasa aman secara psikologis yakni tidak merasa khawatir atau takut karena telah difasilitasi oleh sarana penerang lampu (bila berjalan di malam hari) dan teduh bila di siang hari. Hal ini perlu diperhatikan kondisi trotoar bebas dari pedagang kaki lima dan sarana fisik umum yang dibangun diatas trotoar.
Keempat, menertibkan pedagang musiman dan pedagang kaki lima dengan membuka fasilitas infrastruktur yang mendukung dan layak buat mereka menjalankan usahanya. Biasanya pula para pedagang kecil ini sering memfungsikan fasilitas umum untuk kepentingan usahanya. Perilaku pedagang ini bukan saja mengganggu kenyamana pejalan kaki dan kenderaan bermotor, tetapi juga berdampak luas terjadinya kerawanan dan kemacetan lalu lintas jalan raya. Ruang sirkulasi pejalan kaki dan kenderaan bermotor menjadi menyempit bahkan bagi pedagang tertentu justru meninggalkan ruang kota menjadi tidak indah, kumuh dan berbau. Penertiban ini juga harus tegas dengan dasar keputusan tindakan yang lebih melihat aspek kepentingan manusiawi secara komprehensif.
Kelima, membuka jalan lingkar kota Medan guna mengantisipasi kesemrawutan jalan akibat pertumbuhan volume kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang jalan. Jalan lingkar kota dapat mengurangi jumlah kenderaan yang bertonase besar seperti bus, truck yang hanya melintasi kota sekedar numpang lewat saja. Melintasnya kendaraan bertonase besar di dalam kota sangat mengganggu kelancaran aktifitas warga dalam berkendaraan dan membuat pengemudi menjadi stress, sesak nafas, memerihkan mata dan mengeluarkan suara gaduh.
Keenam, menjaga dan melestarikan arsitektur bangunan yang bernilai budaya dan sejarah. Walau terpacu dengan dengan gaya pembangunan fisik modrenitas, karya seni bangunan budaya dan bersejarah diharapkan tetap terjaga agar keutuhan fisik tetap terwarisi bagi generasi mendatang. Selain itu, pelestarian ini juga menjadi bagian dari situs sejarah yang tidak bisa kita abaikan, apalagi bagi bangunan yang ada telah memiliki usia puluhan dan ratusan tahun. Sekalipun termakan umur yang cukup renta dengan kondisi bangunan yang sedikit mengkhawatirkan daya tahannya, renovasi bangunan yang dilakukan hendaknya tetap mengikuti bentuk aslinya sekalipun komponen materialnya telah diremajakan. Bagi kawasan atau bangunan lama yang kurang tidak termanfaatkan dapat diupayakan melalui revitalisasi dan rekonstruksi fisik dengan pengalihfungsian yang strategis guna mendukung pertumbuhan budaya, sosial dan ekonomi kota. Mungkin kita bisa meniru Singapura melakukan pelestarian kawasan dan bangunan lama dengan pola modrenisasi kota sehingga mendatangkan kegiatan dan keuntungan sektor pariwisata.
Sekedar berilustrasi, mewujudkan kecantikan diri bukan sekedar merias atau memoles wajah dengan sejumlah alat kosmetik yang serba lengkap, mahal dan import. Kecantikan abadi adalah merias wajah hati yang tumbuh dari dalam dengan membuka diri berkomunikasi, berjiwa besar, berfikiran jernih, menjauhi prasangka, gemar menghargai dan tulus berteman. Begitu pula merias kota ini tidak cukup dengan tampilan lahiriah dengan membangun seluruh sarana fisik, tetapi membangun sara fisikis dengan berdialog secara intesif agar kita dapat lebih serius menata Medan kota peradaban. Amiin yaa rabbal alamin..!!