Senin, 15 Desember 2008

Krisis Global


Krisis Global, Kita Harus Bisa Menahan Diri

Oleh: Drs Safwan Khayat M.Hum


Puluhan, ribuan dan mungkin jutaan nasib tenaga kerja di belahan dunia hanya bisa pasrah andai saja perusahaan tempat mereka bekerja terkena bias krisis ekonomi global di penghujung tahun 2008 ini. Kinerja dan prestasi para buruh/karyawan mulai terganggu akibat hempasan krisis global yang melanda perekonomian masyarakat dunia. Hayalan, harapan dan kenyataan berkecamuk andaikan nasibnya harus kehilangan pekerjaan yang selama ini sebagai fondasi ekonomi. Pekerjaan hilang, maka hilang pula pendapatan. Pendapatan hilang, pupuslah harapan dan tujuan. Pekerjaan dan pendapatan hilang, terancamlah masa depan yang terbunuh oleh sebuah tekanan krisis global yang menyisakan kekecewaan. Pelaku usaha kewalahan karena tingginya beban pembiayaan yang tidak sebanding dengan penjualan. Untuk menjaga stabilisasi produksi, perusahaan melakukan penghematan dengan mengurangi biaya produksi dan perampingan karyawan.
Sekalipun harga minyak dunia menurun tajam, krisis global terus berlanjut dengan tingginya suku bunga perbankan. Pelaku usaha kesulitan menghitung akses permodalan karena ketidakmampuan untuk mencicil hutang dengan bunga yang membengkak. Untuk bertahan, cara yang biasa dilakukan dengan menata penghematan melalui upaya penekanan pembiayaan dan mengurangi jumlah karyawan.
Di dalam negeri, dampak krisis global mulai menunjukkan pengaruhnya terutama pada kondisi keuangan (moneter) dan daya tahan pembiayaan perusahaan. Nilai kurs mata uang rupiah semakin terancam hampir mendekati Rp. 12.000/dollar. Bahan baku sulit di dapat yang disertai melambungnya harga beli. Situasi mulai bergerak ke arah kepanikan tatkala beberapa perusahaan mulai mengurangi jumlah tenaga kerjanya dengan modus pemutusan hubungan kerja (PHK). Suasana ini terus berlanjut diikuti munculnya aksi demonstrasi buruh/karyawan yang menuntut hak pekerjanya.
Meski belum besar, gelombang aksi demonstrasi akibat dari krisis global mulai bermunculan. Pemerintah kini mulai mengambil langkah-langkah guna mengantisipasi meningkatnya gelombang aksi demonstran yang pernah terjadi di Negara kita di tahun 1997. Ancaman PHK terus menghantui buruh/karyawan yang bisa berakhir dengan tangisan duka, kekecewaan, kerawanan dan keamanan. Kehilangan pekerjaan dapat merusak dimensi kemanusiaan yang dapat bersikap brutal dan kasar.
Tulisan ini ungkapan secercah atas fenomena krisis global yang harus disikapi dengan kelembutan tanpa panik. Kelembutan biasanya berakhir dengan kedamaian yang menjadi modal sosial bagi kita untuk menjaga keamanan. Kepanikan pasti berakhir dengan kemarahan dan kekerasan yang berujung lahirnya tindakan menyimpang merusak tatanan nilai kemanusiaan.

Menahan Diri
Terasa sulit bagi setiap orang menerima sebuah kenyataan di luar jangkauan keinginan. Apalagi hancurnya usaha dan kehilangan pekerjaan menjadi beban mental yang cukup berat untuk ditanggung. Beratnya beban biaya hidup dan tingginya biaya pendidikan menjadi beban yang harus ditalangi tanpa bisa ditunda. Kepanikan wajar terjadi karena ruang harapan dan kenyataan bersinggungan tanpa saling melengkapi. Jika kita tidak mampu menahan diri, tindakan konyol semakin menambah daftar persoalan diri yang sepatutnya harus dijauhi.
Buat bangsa kita, krisis ekonomi bukanlah suasana yang baru. Beberapa fase krisis pernah kita lalui seperti tahun 1950-1960-an, 1997-1998 dan 2008 ini. Pada tahun 1950-1960-an, negara kita pernah mengalami resesi ekonomi setelah melepaskan diri dari penindasan bangsa kolonialis. Gejolak politik dan ekonomi merubah kondisi negara kita untuk bangkit mengisi kemerdekaan yang terbelenggu oleh penjajahan. Situasi bangsa cukup kacau, ekonomi sulit, instabilisasi terjadi dan ancaman disintegrasi mendesak kesatuan bangsa kita. Belum lagi selesai kasus internal politik akibat gerakan sparatis dengan sejumlah aksi pemberontakan, aksi demonstrasi terus bermunculan hingga meriuhkan situasi sosial bangsa ini.
Di tahun 1997-1998 pasca jatuhnya regim Orde Baru, suasana yang sama juga terjadi. Krisis ekonomi juga melanda bangsa kita yang berujung PHK besar-besaran, demonstrasi massal dan reformasi politik. Instabilisasi juga terjadi dan ancaman disintegrasi kembali terulang yang dipicu kuatnya sentiment politik-ekonomi terhadap regim yang sedang berkuasa. Keutuhan negara kembali dipertaruhkan yang hancur lebur oleh situasi sosial yang panik, brutal dan anarkis. Korban jiwa berjatuhan ditambah lagi hancurnya sejumlah bangunan fasilitas umum yang di rusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dari dua peristiwa ini (1950-1960-an & 1997-1998) harus menjadi pelajaran bagi kita dalam menyikapi krisis global di tahun 2008 ini. Bangsa kita jangan mengulangi suatu tindakan yang merugikan diri sendiri. Sikap menahan diri menjadi perilaku yang paling bijaksana untuk tetap menjaga hati dan fikiran memahami situasi krisis global ini. Sikap menahan diri ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya; menjaga emosi dengan selalu menyandingkan fikiran dan hati, melakukan penghematan pengeluaran ekonomi, membatasi pergaulan bebas yang menyimpang, meneguhkan ibadah yang kuat dengan kegiatan keagamaan dan selalu menoleh pengalaman masa lalu dengan mengambil manfaat.
Menahan diri berarti kita ikut menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) yang paling penting kita jaga. Tindakan brutalisme yang menjurus perilaku anarkis adalah wujud perilaku sia-sia yang merusak tatanan interaksi dalam ikatan sosial. Pengalaman masa lalu menjadi pelajaran penting bahwa hidup dalam suasana mencekam jauh dari ketenangan dan kedamaian. Bagi kita yang pernah merasakan dampak krisis ekonomi jangan mengulang sejarah kelam yang pernah singgah dalam catatan sejarah bangsa ini.
Krisis global bukanlah akhir dari kehidupan. Krisis global adalah hasil dari persekongkolan yang serakah menumpuk kekayaan dengan mengorbankan nilai fundamental kemanusiaan. Sejumlah kalangan yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan kapital (keuangan) dengan menganut azas ekonomi global menindas fondasi ekonomi dunia yang sepatutnya tidak perlu terjadi. Perilaku ekonomi kapital inilah yang menciptakan suasana menjadi buruk terutama terganggunya sistem ekonomi moneter, goncangan bursa saham dan rusaknya lalu lintas perbankan.
Perilaku solidaritas menjadi sikap yang paling santun kita lakukan dengan menjaga harmonisasi komunikasi dengan segenap elemen masyarakat. Kita mulai lebih waspada atas segala aksi yang menjurus makar yang merusak tatanan stabilisasi keamanan bangsa ini. Berfikir positif, berjiwa besar dan bertindak akomodatif adalah perilaku yang paling sesuai dengan selalu bersikap hidup hemat, cermat dan tepat. Mari kita pertahankan keutuhan, persatuan dan kesatuan sekalipun krisis global terus mencekam ekonomi bangsa kita.