Kamis, 16 April 2009

Sungai Deli

Kembalikan Sungai Deli Ku !

Oleh:Drs SAFWAN KHAYAT M.Hum


Di tengah malam yang hening, sepi, dingin ber-embun, nyaris tanpa suara hingar bingar hilir mudiknya orang-orang dan kenderaan. Tak ada langkah, tak ada kata, yang ada hanyalah dengusan nafas lelapnya tidur warga setelah lalui deru dinamika kehidupan kota Medan . Tetapi di malam itu, si ibu yang tua renta telah sujud kusyuk menghambakan dirinya kepada Ilahi. Masih terlihat butir-butir air wudhuk yang membasahi wajahnya. Dengan harap cemas, si ibu menengadahkan tangannya untuk memohon keampunan dan ridho Ilahi. Satu kalimat si ibu sisipkan dalam doanya ; “Ya Tuhan, beri aku kemudahan membimbing anak-anak ku, dan beri aku kemurahan rezeki agar aku dapat menafkahi anak-anak ku”.
Begitulah bertahun-tahun si ibu bermunajat di tengah malam gelap gulita. Sebab, bertahun-tahun pula ia menjanda, di tinggal suami tercinta yang telah diberpulang ke pangkuan Ilahi. Ia bina keluarga dengan caranya sendiri, dan ia nafkahi keluarga dengan tangannya sendiri. Di depan pusara yang berdiri bisu di atas maqam almarhum suaminya, ibu berjanji akan melanjutkan cita-cita almarhum terhadap ke-tujuh anaknya.
Biarlah si ibu tak makan, asalkan anak-anaknya makan. Biarlah air mata ini kering, demi kebahagiaan anak-anaknya. Si ibu tak ingin anak-anaknya malu hanya karena keterbatasan dirinya. Dorongan itulah yang sering melintas dibenaknya.
Tubuhnya yang renta masih tersimpan sisa-sisa tenaga. Kulitnya yang keriput masih tersingkap cahaya kecantikan wajahnya. Tangannya yang mulai gemetaran, tak mengurangi sentuhan tangan belaian kasih sayangnya. Semua itu bagaikan butiran kaca kristal yang tak pernah pudar walau diterpa panas dan hujan. Syukurlah, jerih payah si ibu mampu menamatkan sekolah anak-anaknya, bahkan hingga keperguruan tinggi. Sungguh mulia hati si ibu.
Suatu ketika si ibu bercerita pada anaknya tentang kenangan dengan almarhum suaminya (ayah dari ke-tujuh anaknya). Betapa ia mencintai dan menghormati suaminya. Dengan penuh tanggungjawab, suami memanjakannya. Bukan saja urusan nafkah lahir bathin, tetapi juga sampai urusan mencuci.
Di belakang rumahnya, aliran sungai Deli terasa sejuk membasahi pori-pori bumi. Di sungai itulah penuh kenangan indah. Warga kota Medan kebanyakan memanfaatkan sungai Deli salah satu sumber kehidupan. Di mulai dari mencuci pakaian, membersihkan perabotan rumah tangga dan mandi. Ada pula memanfaatkan sungai Deli sebagai sumber nafkah lahan pekerjaan seperti menjala ikan dan menggali pasir yang tersimpan di dasar sungai. Di sekitar sungai Deli tumbuh subur rimbunnya tanaman pohon pisang, lalang dan jenis tumbuhan lainnya memberi manfaat bagi warga sekitar.
Fungsi lainnya, sungai deli juga selalu dijadikan lokasi bermain, rekreasi dan hiburan. Berbagai acara hari khusus, selalu memanfaatkan sungai deli dengan beragam perlombaan. Di mulai dari lomba renang, lomba memancing ikan, lomba kayuh sampan, lomba rakit dari batang pisang,bermain bola pasir dan lainnya.
Bagi anak-anak dan remaja, sering memanfaatkan sungai Deli sambil mandi beranyut bersama-sama dengan menggunakan sebuah ban dalam mobil atau batang pohon pisang yang dijadikan rakit. Tak heran pula, ada sekumpulan anak-anak dan remaja meloncat dari lokasi yang tinggi, terjun bebas hingga menembus aliran sungai yang bersahabat. Tak terlintas bahaya mengintai, sebab tak sedikit pula menelan korban jiwa, tetapi semuanya larut dalam kegembiraan bersahabat dengan sungai Deli.
Si ibu tak mampu menutupi kesedihan ketika beliau menyinggung kenangan bersama almarhum suaminya. Sesekali tersenyum walau butiran air matanya menetes tanpa disadari. Sungai Deli adalah kenangan terindah baginya. Mereka lalui bersama menjalani hidup tanpa melupakan jasa sungai Deli. Bersama suaminya, si ibu mencuci pakaian sambil melihat anak-anaknya mandi kegirangan. Sesekali pula, si ibu menyapa anaknya dengan lembut ; “mandinya jangan jauh dari ibu, jangan mandi ke tengah ya nak ?” Tapi si anak dasar nakal, terus asyik mandi sambil bermain siram-siraman air.
Tak jauh dari si ibu, beberapa orang pemuda asyik ngobrol sesama mereka. Entah apa yang mereka ceritakan, si ibu dan suaminya tak peduli yang terus asyik dengan cuciannya. Sesekali ibu melirik pemuda itu, mereka sambil ngobrol asyik tertawa. Mungkin mereka bercerita tentang acara lawakan di televisi tadi malam ? Atau bisa jadi mereka menceritakan dirinya dan suami sedang mencuci ? Mereka anggap kami ini aneh atau entah apalah dibenak mereka ? sangka bathin si ibu.
Tak disadarinya, suaminya juga ikut tersenyum tatkala orang-orang itu tertawa. Si ibu menghampiri suaminya ; “koq mereka tertawa, bapak ikut senyum sendiri ? Ada apa ? tanya ibu. “Enggak ada apa-apa? Jawab suaminya tersipu-sipu. “Lho, enggak ada apa-apa koq senyum sendiri ? paksa ibu. Setelah suaminya menjelaskan, si ibu pun ikut tersenyum. Ternyata pemuda-pemuda itu saling bercerita kisah mereka yang di labrak pacarnya karena ketahuan selingkuh. Akhirnya mereka diputusin pacarnya. Dasar anak muda zaman sekarang, celoteh si ibu.
Sungai Deli, adalah salah satu nama diantara delapan sungai yang mengelilingi kota Medan . Diantara nama-nama sungai yang ada yakni Sungai Deli, Sungai Babura, Sungai Sikambing, Sungai Denai, Sungai Putih, Sungai Badra, Sungai Belawan dan Sungai Sulang-Saling/Sungai Kera.
Kini nasib sungai Deli dan sungai lainnya tinggal kenangan. Debit air kecil dan keruh, sampah menumpuk dan aroma air sudah tak sehat. Di dasar sungai penuh lumpur dan ikan-ikan nyaris tak ada lagi. Tak ada lagi cerita dan tak ada kisah, kini sungai Deli sudah ditinggalkan.
Dulu, di sungai Deli ini pula, suaminya pernah menyatakan cinta. Sungai Deli menjadi saksi bisu menyatunya hati dua insan yang berbeda. Sungai Deli menyatukan silaturahhim bagi kaum hawa. Sambil mencuci, tak terasa obrolan cukup panjang. Walau tak sadar, terkadang gossip juga ada di sungai Deli.
Begitulah si ibu bercerita nostalgia dengan suaminya tentang sungai Deli. Sungai Deli menyimpan berjuta kenangan, bukan saja dirinya, tapi juga orang lain. Si ibu menutup kisahnya dengan ucapan kata; “suami ku tak mungkin kembali bersama kisah cintanya, tetapi kembalikan sungai Deli ku, agar kisah ku terulang bagi yang lain”. Ya, kembalikan sungai Deli ku, harap si ibu.

*Penulis,
Alumni SMA Negeri 1 Medan, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pasca Sarjana USU Medan. Website; http;//Selalukuingat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com.

Rabu, 08 April 2009

Azil si Semut Yang Menuntut Keadilan



Oleh,

Drs SAFWAN KHAYAT MHum


Alkisah menceritakan, hiduplah seekor semut sebatang kara yang terpisah dari kelompoknya akibat di terpa kencangnya angin. Sebelumnya semut-semut itu tinggal di balik luar sudut bawah dinding rumah tua yang telah lama ditinggalkan penghuninya. Suatu ketika datanglah gemuruh angin yang berputar dengan kencangnya. Seluruh benda yang ada terpental jauh karena dorongan angin yang dahsyat. Sekecap saja daerah itu rata di sapu sang angin tanpa terkecuali rumah tua tempat bermukim segerombolan semut. Sang angin dengan egonya meluluh lantakkan lokasi mereka hingga mereka bercerai berai. Ada yang terhempas ke barat, ke timur, ke utara dan ke selatan. Tapi, tak sedikit pula ajal menjemput akibat hantaman derasnya arus angin yang berputar ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang.

Sebut saja semut sebatang kara itu bernama Azil. Azil terlempar persis di tepi sungai yang tenang tanpa suara gemericik. Di sekitar itu ditumbuhi pohon pisang dan rumput hijau yang segar dan rimba. Mulanya Azil kebingungan sambil bergumam, “dimana aku berada” ? Sorot matanya tajam sambil melihat kiri-kanan. Aneh, sungguh aneh ..! herannya. Azil pun berteriak sekeras-kerasnya, bapak..! ibu..! dimana kalian..?

Tak ada suara jawaban. Malah Azil hanya mendengar balasan suaranya sendiri yang bergema di tengah kosongnya suasana. Azil berlari di atas kaki kecil dan tubuh mungilnya. Ia lewati gundukan tanah, batu besar dan rimbanya rumput hijau. Tak satupun Azil jumpai di tengah penelusurannya. Azil sedih karena terpisah dari keluarganya dan kerabat yang dicintainya.

Di tempat tinggal Azil yang dulu, masih ada cahaya remang lampu, bias dari cahaya lampu rumah penduduk di sekitar rumah tua itu. Walau cahaya remang, sedikit membantu Azil dan kelompoknya menelusuri setiap dinding rumah tua itu dan lintasan sekitar domisilinya. Di malam hari Azil menghabisi waktu malamnya bersama keluarga dan kerabat sambil bercanda tawa. Begitulah setiap detik, waktu, hari, minggu, bulan dan tahun berjalan penuh keceriaan.

Azil mulai ketakutan, karena di sekitarnya sunyi, sepi dan senyap. Suasana gelap tanpa cahaya remang lampu yang dulu ada. Tapi syukurlah, Azil sedikit terbantu oleh cahaya rembulan purnama menonjolkan kemolekan tubuhnya. Azil berusaha melawan rasa takut di tengah malam dengan hembusan angin dingin menusuk tubuh mungilnya. Ia lalui rimbanya rerumputan dengan harapan semoga ia bertemu sosok teman.

Kini, Azil jalani hari-harinya tanpa ibu, bapak, saudara dan karib kerabat. Dulu Azil dengan yang lainnya kerap bahu membahu membopong secuil bahan makanan untuk di santap bersama-sama. Mereka membentuk barisan yang teratur, derap kaki yang beriringan dan tegur sapa ketika berpapasan. Kini tak lagi ada, semua itu berubah, sebab kini Azil lakukan sendiri demi menggapai kelangsungan hidup lebih panjang. Azil harus bekerja keras mencari makanan penyambung hidup di area yang asing baginya. Apa saja Azil upayakan demi menghidupi tubuh kurus kecilnya.

Suatu ketika Azil ketemu rezeki nomplok. Dihadapannya ada seekor ikan terkapar lunglai persis di tepi sungai itu. Ikan itu terdampar ketepian hingga tak mampu lagi kembali di tengah sungai. Akhirnya ikan itu lunglai tak berdaya hingga datanglah kematiannya. Walau ikan itu tak terlalu besar, tetapi bagi Azil ikan itu cukuplah untuk makannya sebulan. Sebab Azil sadar, perutnya yang kecil tak mungkin menghabisi ikan yang besarnya seribu kali lipat dengan tubuhnya.

Azil percepat langkah kakinya seakan sudah tak sabar lagi melahap daging ikan segar itu. Ketika Azil tepat berdiri disamping ikan tadi, betapa ia terkejut sambil matanya melotot, “wah besar sekali ikan ini”? “Aku sudah tak sabar memakannya” ? gumam Azil. Perlahan-lahan Azil tarik ikan itu persis di bibir sungai dengan tenaganya yang ala kadarnya. Azil lakukan itu, takut kalau-kalau datang ombak air, maka ikan itu kembali terseret ke tengah. Dengan paluh keringat, akhirnya kerja kerasnya itu Azil berhasil. Tanpa basa basi, Azil melahap daging ikan itu. Mulutnya yang kecil seakan mau menghabisi seluruh tubuh ikan itu. Azil makan bagaikan keserupan. Ia berputar-putar tak tentu arah menikmati santapannya. Maklumlah, menu makan Azil tak pernah selezat ini. Azil bagaikan makan seekor ikan panggang dengan ramuan termahal di hotel berbintang lima. Dengan lahap Azil santap menu spesial hari ini. Tak ia sadari sejak ia mulai menikmati menu hotfish-nya, sudah lama makhluk sang pemangsa berdiri angkuh di sampingnya.

Azil kaget bagai di sambar petir ketika matanya menoleh ke sebelah tubuhnya. Ada dua kaki kokoh dengan jari yang kuat. Di ujung jari-jari itu tumbuh kuku-kuku tajam yang siap mencabik-cabik mangsanya. Lalu Azil angkat kepalanya ke atas sambil matanya terbelalak, rupanya sudah lama seekor burung Rajawali yang gagah berdiri tegak dengan sombongnya. Burung itu menatap Azil dengan tajam seakan ingin melahap tubuh kurus itu dengan paruhnya. Dengan beringas, Rajawali menghujamkan paruhnya ke tubuh ikan yang Azil makan. Hampir saja Azil tersambar tajamnya paruh Rajawali. Azil seketika terlempar dari tubuh ikan itu. Andai saja sedikit terkena, pastilah Azil patah tulang remuk redam.

Rajawali begitu lahap mencabik-cabik tubuh ikan miliknya. Azil marah dan kesal. Azil menggerutu sambil mengepalkan tangan seakan ingin menonjok kepala Rajawali. Tapi apalah daya, Azil hanya bisa bersedih karena tak mungkin Rajawali itu ia kalahkan. Jangankan memukul kepalanya, mendekati saja Azil sudah ketakutan. Andaikan pula ia memiliki keberanian, tak mungkin pula ia tonjok Rajawali itu. Sebab tubuhnya yang mungil, mustahil bisa melakukan senekat itu.

Seketika ikan itu habis dikunyah Rajawali. Jangankan dagingnya, tulang pun tak disisakan untuk Azil. Padahal, Azil-lah yang pertama menemukan rezeki itu. Azil pula yang bekerja keras menggiring ikan itu ke tepian. Dengan tangan dan keringatnya Azil upayakan tanpa bantuan siapa pun. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan tenaga, akhirnya rezeki itu ia peroleh. Tapi dengan kekuasaan, keangkuhan dan kekuatan sang Rajawali merampas hasil jerih payahnya. Azil kesal karena tak mampu berbuat apapun. Tubuhnya yang mungil kecil tak mampu melawan sang predator yang kuat dan berkuasa. Azil ingin menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum karena haknya dirampas. Tapi nasibnya, tak ada lembaga yang mau mendengar keluhan jiwa seekor semut. Azil ingin meminta perlindungan Komisi Azasi karena hak azasinya dirampas, sayangnya tak ada pula Komisi Azasi untuk semut.

Akhirnya Azil hanya bisa mengelus dada sambil hatinya berkata, “beginilah nasib makhluk kecil yang tak berdaya”! Kami selalu kalah oleh kelompok yang berkuasa dan berkekuatan. Kami tak berdaya dan pasrah semoga keadilan berpihak kepada yang kecil”!

Azil pun kembali menelusuri kejamnya kehidupan. Azil yakin, suatu hari nanti pasti ada keadilan itu. Azil juga yakin pasti ada pula makhluk yang kuat dan berkuasa menyisakan makan untukknya walau sisa-sisa dari santapan mereka. Apa boleh buat, Tuhan menciptakan alam beserta isinya memiliki pelajaran yang bisa diambil manfaatnya, bisiknya.

Azil pun berdoa; “Tuhan, Engkau Maha Adil, bukakanlah ruang hati yang adil bagi makhluk ciptaan-Mu yang berkuasa dan berkekuatan kepada makhluk-Mu yang kecil dan lemah”. Amiin ya Rabbal Alamin.

Penulis, Alumni SMA Negeri 1 Medan, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pasca Sarjana USU Medan. Email; safwankhayat@yahoo.com