Rabu, 17 September 2008

Ramadhan Bulan Keberkahan Rezeki Manusia



Puasa suatu proses kaderisasi diri dengan kebulatan tekad dan kesungguhan hati menerapkan pola tindak yang rendah hati, kesadaran sosial, berfikir positif, menjauhi prasangka buruk dan kesetiakawanan. Kekuatan puasa mampu menciptakan keseimbangan diri untuk hidup dalam berkeadilan, kematangan jiwa, merajut silaturrahmi dan persatuan yang abadi.
Islam mengajarkan bahwa kewajiban ibadah puasa hanya berlaku setiap datangnya bulan Ramadhan. Bagi umat penganut agama Islam di seluruh dunia menegakkan ibadah puasa secara bersama-sama menjadi ibadah wajib tatkala bulan suci Ramadhan tiba. Walaupun Islam mengajarkan adanya beberapa ibadah puasa di luar bulan Ramadhan, tetapi keutamaan (fadhillah) puas Ramadhan jauh lebih tinggi dengan ribuan manfaat dan pahala yang dijanjikan Allah SWT. Ibadah puasa Ramadhan dijadikan Allah SWT sebagai bulan pengampunan (maghfirah) dengan jutaan keberkahan. Salah satu keberkahan bulan Ramadhan, sekecil apapun perbuatan amal kebajikan dijanjikan Allah SWT dengan balasan pahala yang berlipat ganda.
Dasar menjadi kewajiban umat Islam menegakkan ibadah puasa di bulan Ramadhan dituliskan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 183 dan185 yaitu ;
Bagi orang yang beriman, diwajibkan kamu berpuasa seperti orang sebelum kamu juga telah diwajibkan agar kamu bertaqwa.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditentukan untuk berpuasa merupakan bulan yang diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai pentujuk manusia dan memberikan penjelasan mengenai petunjuk itu dan menjadi pembeda atas segala yang haq dan bathil. Bagi siapa saja yang menetap tinggal dalam suatu negeri di bulan itu, maka wajiblah ia berpuasa, tetapi bagi siapa saja yang sedang sakit atau dalam perjalanan (berbukalah), tetapi ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya pada waktu yang lain.
Bila kita amati secara sosial, keberkahan bulan Ramadhan juga dapat dirasakan seluruh kalangan. Bukan saja bagi umat Islam sendiri, tetapi juga dirasakan umat beragama lainnya. Bagi para pedagang dalam menyambut dan berakhirnya bulan Ramadhan selalu meraih keuntungan yang lebih di luar bulan ini. Begitu pula pihak lain seperti petani, peternak, karyawan, pekerja bangunan, dosen/guru dan pelaku wiraswasta lainnya ikut merasakan keberkahan bulan Ramadhan. Untuk karyawan yang bekerja di instansi pemerintahan dan swasta turut pula memperoleh rezeki yang berlebih yang biasanya diperoleh menjelang berakhirnya bulan Ramadhan. Biasanya mereka memperoleh rezeki tambahan tersebut dalam bentuk tunjangan hari raya (THR) dengan penyesuaian gaji/honor yang mereka peroleh masing-masing.

Rezeki yang diperoleh yang dibelanjakan untuk keperluan sandang dan pangan hendaknya rezeki yang dinyatakan sebagai bentuk hasil perbuatan yang halal. Keberkahan Ramadhan dengan rezeki yang halal lagi baik membuktikan bahwa keutaman bulan suci ini bukan saja milik umat Islam tetapi ikut memberi manfaat bagi umat lainnya. Rezeki yang halal lagi baik adalah rezeki berkah yang tatkala memperolehnya jangan memperturuti nafsu syaitan yang dapat merusak keberkahan rezeki tersebut.
Dalam memperoleh rezeki yang halal lagi baik, Allah SWT telah memerintahkan seluruh umat manusia di jagat raya ini (tanpa pengecualian) dengan cara yang halal lagi baik. Perintah Allah SWT termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 168-169 yaitu ;
Hai sekalian manusia di jagad raya, makanlah yang halal lagi baik atas apa saja yang kamu peroleh di muka bumi, janganlah kamu ikut cara-cara syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji.
Ukuran keberkahan rezeki dapat dilihat dari sisi penggunaan atau manfaatnya. Rezeki yang dibelanjakan dengan manfaat yang positif menjadi tolak ukur bahwa rezeki yang diperoleh berkah. Rezeki yang dibelanjakan tanpa memberikan manfaat yang berarti serta berdampak mudharat bagi diri sendiri juga dapat dijadikan tolak ukur bahwa rezeki yang diperoleh tidak berkah.
Kata lain dari sebuah ukuran keberkahan rezeki yaitu penggunaan belanja sesuai dengan peruntukkan yang baik, tepat dan benar. Dalam bahasa Al Qur’an keberkahan rezeki bila digunakan dengan membelanjakannya di jalan Allah agar rezeki yang diperoleh dari-Nya dapat mensucikan diri.
Firman Allah dalam Surah Al Baqarah 254 menjelaskan tentang keberkahan rezeki dengan menggunakan pada jalan Allah berbunyi ;
Wahai orang yang beriman, gunakanlah sebahagian rezeki mu dengan membelanjakannya di jalan Allah dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu, sebelum datang suatu hari yang tidak ada lagi jual beli (perniagaan) dan tidak ada lagi persahabatan serta tidak ada lagi hukum. Orang kafir adalah golongan yang zalim.
Dalam penjelasan berikutnya Al Qur’an menggambarkan bahwa rezeki yang digunakan di jalan Allah dengan manfaat yang dirasakan diri sendiri dan orang lain bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir yang berisikan ratusan biji.
Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir dan tiap-tiap butir berisikan seratus biji. Allah akan terus melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia Kehendaki. Allah Maha Luas kurnia-Nya lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah 261)

Masih dalam surah yang sama di ayat lain, Al Qur’an juga mendeskripsikan betapa Allah melipat gandakan atas penggunaan rezeki yang diridhai-Nya.
Dan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi disirami hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, hujan gerimis pun juga memadai hasil kebun tadi. Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (Al Baqarah 265).

Selain membelanjakan rezeki untuk kebutuhan pribadi dan keluarga, keberkahan rezeki akan terasa manfaatnya dengan berinfaq, bersedekah, berzakat dan menggunakannya untuk kemaslahatan umat dan negara. Bentuk penggunaan rezeki yang menyimpang dari peruntukkan apalagi sama sekali tanpa memperdulikan nafkah di jalan Allah (infaq, sedekah dan zakat) justru membuat rezeki yang diperolehnya menjadi bencana bagi diri sendiri.
Betapa bulan suci Ramadhan ini menjadi bulan intropeksi diri atas segala bentuk perbuatan dan penggunaan rezeki yang kita peroleh selama ini. Peluang Ramadhan dengan meraih keuntungan rezeki dan penggunaanya saling merasakan dan memahami lingkungan sekitar sebagai bulan Ramadhan menjadi bulan keberkahan rezeki bagi manusia di jagad raya.


Penulis; , Alumni UMA dan USU, Dosen UMA. Email; safwankhayat@yahoo.com

Kamis, 11 September 2008

Mengugat Akar Kemiskinan

Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum

Kondisi kemiskinan menjadi masalah issu mendunia yang bukan saja ditemukan pada masyarakat pedesaan, juga tidak sedikit dijumpai pada pola interaksi kehidupan masyarakat perkotaan. Disadari atau tidak, banyak pihak melirik persoalan kemiskinan berputar pada tataran gejala sosial yang terlihat (tampilan) pada permukaan saja. Misalnya, ditemukan salah satu ciri umum kondisi fisik kemiskinan yang tidak memiliki akses prasarana dasar lingkungan yang kurang memadai, kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, mata pencaharian yang tidak menentu dengan rendahnya pendapatan ekonomi keluarga. Gejala sosial ini biasanya selalu menjadi tolak ukur dalam menelaah tataran kondisi fisik kemiskinan dengan meneropong pola kehidupan masyarakat pinggiran yang berada di perkotaan.
Pada dimensi kehidupan sehari-hari, gejala kemiskinan yang muncul dalam social setting diantaranya ;
Pertama, Dimensi politik, biasanya terjadi dalam bentuk tidak ditemukannya wadah/organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka terus semakin terpinggir bahkan menjurus tersingkir dari suatu pola pengambilan keputusan yang teramat penting berkaitan masa depan hidup mereka. Mereka juga tidak memiliki kemampuan menguasai akses yang menunjang menuju sumber daya penting yang dibutuhkan guna menyelaraskan pola hidup mereka yang layak.
Kedua, Dimensi sosial, muncul ke dalam bentuk tidak terkoordinir warga miskin khususnya ke dalam institusi sosial yang ada, bahkan budaya kemiskinan terinternalisasi ke dalam etos kerja mereka yang berakibat buruk bagi kualitas sumber daya diri dan memudarnya nilai-nilai kapital sosial.
Ketiga, Dimensi lingkungan, tampilan yang kelihatan dalam bentuk sikap, perilaku dan cara pandang yang lemah dan kaku, kurang berorientasi masa depan sehingga cendrung melahirkan keputusan dan melaksanakan aktifitas yang kurang selaras dengan kelestarian lingkungan sekitar.
Keempat, Dimensi ekonomi, kelihatan jelas dalam bentuk penghasilan yang rendah sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sampai batas layak.
Kelima, Dimensi asset, rendahnya tingkat kepemilikan dalam bentuk asset yang menjadi bagian dari modal hidup mereka dan lemah pula asset kualitas sumber daya manusia (human capital), modal usaha dan peralatan kerja.
Disamping kelima dimensi yang menjelaskan tentang gejala kemiskinan, beberapa pendekatan yang dijadikan karakteristik kemiskinan diantaranya ; a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar seperti pangan, sandang dan papan, b) ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya misalnya kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi, c) ketiadaan jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga, d) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, e) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam, f) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat, g) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan, dan h) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.
Dalam konteks politik, Friedman mendefenisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi; 1) modal produktif atau asset seperti tanah, perumahan, alat produksi dan kesehatan, 2) sumber keuangan seperti pekerjaan dan kredit, 3) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama misalnya koperasi, partai politik dan organisasi sosial, 4) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, 5) pengetahuan dan keterampilan, dan 6) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.


Akar Kemiskinan
Dimensi kemiskinan juga dapat diartikan sebagai bentuk pola perilaku yang disebabkan adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di tengah masyarakat. Faktor penghambat tersebut yang menjadi akar kemiskinan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Sebab faktor internal adalah diawali datangnya dari dalam diri si miskin itu sendiri seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (culture poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Disisi lain, faktor eksternal dalam prosesnya datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural yakni terjadi bukan karena “ketidakmampuan” si miskin untuk bekerja (malas) melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Dari kedua faktor ini, paradigma kemiskinan dapat diukur melalui telaah konsep yang menjadi indikator kemiskinan itu sendiri misalnya adanya pembedaan kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dalam konteksnya, kemiskinan absolut dan relatif keduanya muncul memiliki masing-masing sebab dan meluasnya masyarakat miskin diperkotaan. Tentu saja, setiap bentuk kemiskinan yang tampil dalam realitas sosial perlu digagasi strategi penanggulangannya agar bentuk kemiskinan itu tidak meluas.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan dalam kenyataannya sering menghadapi suatu kondisi yang kurang proporsional dan menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih fragmentasi sosial dan mengkrucutnya nilai-nilai kekuatan kapital sosial seperti sikap gotong royong dan kemandirian. Proses pengkrucutan ini membawa bias terhadap munculnya pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari sikap dan semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara kolektif. Ditengah masyarakat muncul sikap “pengemisme” sebagai kelompok peminta yang menunggu belas kasihan dan uluran tangan dari pihak tertentu.
Kondisi ini terus berlanjut bila disertai adanya perilaku masyarakat yang memudar etos kerja dan daya juang untuk keluar dari lingkaran pola perilaku kemiskinan. Salah satunya yang ikut sebagai faktor penyebab adanya ketidak adilan keputusan, kebijakan dan tindakan pengelolaan pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemimpin masyarakat (pemerintah) terhadap masyarakatnya. Sikap pemimpin seperti ini justru memperlebar ruang penyekat dan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di mata warga miskin.
Akar kemiskinan yang ditengarai oleh kedua faktor di atas membuat kondisi kemiskinan akan tetap terus bertahan. Kemiskinan yang disebabkan faktor internal melahirkan bentuk kemiskinan kultural (culture poverty) seperti etos kerja dan daya juang yang lemah, bersandar pada nasib dan belas kasihan, sikap masa bodoh dan tidak percaya diri, meraih pendapatan berdasarkan kebutuhan singkat, tidak memiliki modal kapital sosial, lemahnya orientasi obsesi hidup, sikap kecurigaan yang berlebihan, membatasi bentuk pergaulan sosial, dasar pendidikan yang tidak menunjang dan tidak menerima perubahan sosial.
Faktor eksternal juga ikut “memicu” pertumbuhan angka kemiskinan bagi masyarakat perkotaan. Faktor eksternal membawa dampak pada bentuk kehidupan kemiskinan struktural (structure poverty) seperti hasil keputusan, kebijakan dan tindakan pemerintah yang tidak adil, sempit dan berbelitnya dukungan permodalan bagi pelaku usaha UKM, keberpihakan kepada pengusaha elitis, lemahnya sistem ekonomi guna menurunkan angka kemiskinan dan kuatnya orientasi kepentingan politik yang berlebihan.
Keadaan ini harus kita rubah dengan menggugat akar kemiskinan yang selama ini terus berlanjut di sekitar kita. Gugatan yang harus segera dilakukan khususnya dalam bentuk mengurangi angka kemiskinan adalah dengan memperbaiki sikap dan pandangan masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip sosial dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perubahan sikap dan pandangan yang positif merupakan perubahan perilaku guna memperkokoh terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, menyadari tujuan hidup guna mengangkat harkat dan martabat diri dan meyakini bahwa hidup bukan hanya untuk makan, tetapi punya tanggungjawab sosial yang tinggi. Perubahan ini sekaligus sebagai bentuk gugatan kita terhadap diri sendiri bahwa kita harus melawan kemiskinan kultural yang bersumber dari diri sendiri yang sekaligus sebagai tergugat pertama.
Kebijakan penting yang berpihak pada penyelamatan nasib kelompok miskin juga menjadi sasaran gugatan kita. Peran pemerintah dalam melahirkan program peningkatan perekonomian warga harus terus kita kritisi. Dukungan dan dorongan pemerintah yang lemah menambah daftar kemiskinan masyarakat. Sikap kita adalah dengan menyusun langkah yang strategis, fungsional dan tepat sasaran agar kelompok miskin dapat keluar dari keterhimpitan ekonomi. Pemerintah harus pula melawan kemiskinan struktural yang ditimbulkan dari lemahnya manajerial organisasi. Guna melawan kemiskinan struktural dibutuhkan sikap dan moral pejabat yang jujur, bersih, berorientasi kerakyatan dan selalu berfikir agar rakyat tidak bodoh dan lapar. Kemiskinan yang bersumber dari keputusan yang tidak adil sekaligus dijadikan sebagai bentuk tergugat kedua.

Penutup
Jika saja akar kemiskinan telah menjalar di tengah kehidupan ini yang telah merasuki ke dalam pola sikap, pandang dan kebijakan, maka kita pulalah yang paling tepat menggugatnya. Dengan menggugat akar kemiskinan sama pula kekuatannya dengan melawan diri, masyarakat, bangsa dan negara memerangi kelaparan dan kebodohan. Masyarakat lapar dan bodoh sangat identik dekat dengan kemiskinan, tetapi masyarakat yang melaparkan diri dan membodohi diri sama pula kekuatannya dengan kemiskinan. Ilustrasi inilah yang penulis katakan sebagai bentuk kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Dengan menggugat akar kemiskinan maka kita telah menggungat diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Mudah-mudahan kota Medan ini dengan segenap penghuni meyakini bahwa menggugat akar kemiskinan telah menjauhkan kita dari rasa lapar dan masa bodoh.

Siantar, Mei 2008




Kompol Drs. Safwan Khayat. M.Hum
Penulis Mantan Kasatlantas Poltabes MS & Dosen Universitas Medan Area
Sekarang Wakapolresta P. Siantar