Sabtu, 21 Februari 2009


Biarlah Hukum Bicara

Oleh,
Drs. Safwan Khayat M.Hum


Tak ada tempat bagi aksi anarkis di tanah air, tak ada maaf bagi mereka yang merencanakan pengrusakan dan pembunuhan. Tak satu ayat pun yang membenarkan anarkis hidup abadi di muka bumi. Sebab, ayat hukum Negara menentang perilaku anarkis, begitu juga ayat-ayat Agama melaknat anarkisme.
Kekerasan, penistaan, pengrusakan, penganiayaan dan pembunuhan adalah perilaku yang bertentangan dengan ayat hukum Negara dan ayat Agama. Hukum Negara mengatur kemaslahatan bermasyarakat, sementara Agama menafasi dimensi kemanusiaan dan keIlahiaan. Orang yang taat hukum Negara dan taat Agama, pastilah menjaga kemaslahatan bermasyarakat, berkemanusiaan dan berTuhan.
Tragedi 3 Februari 2009 bukti dari ketidaktaatan terhadap ayat hukum Negara dan ayat Agama. Gedung di rusak, nyawa melayang. Hukum ditabrak demi kepuasan amarah kepentingan. Kemanusiaan pun tak lagi jadi pedoman, dikalahkan oleh perilaku kekerasan dan kekejaman yang berujung kematian. Syahwat bergaya preman mendominasi syahwat keimanan. Begitulah kalau aliran darah emosional lebih kuat menguasai aliran darah rasional.
Demokrasi berujung menjadi DemoKukerasi. Demokrasi berubah menjadi Demoral Kreasi. Akibat anarkis, Demokrasi jatuh martabatnya menjadi demo crazy. Aspirasi dilapisi dengan rasa marah yang tak terjaga. Sikap marah yang tak terbendung akhirnya berbenturan dengan kasus pelanggaran hukum. Sikap marah itu kini berakhir dengan rasa malu. Begitulah kenyataanya ketika aspirasi demokrasi disalurkan lewat demonstrasi sadis, brutal dan anarkis.
Demonstrasi bagian dari demokrasi, tetapi demonstrasi bukan satu-satunya cara menyalurkan aspirasi dalam berdemokrasi. Demonstrasi bisa disalurkan lewat tulisan, lukisan dan karya seni lainnya. Demonstrasi hendaknya tetap memegang teguh ayat-ayat kemanusiaan dengan cara yang santun, tertib dan bertanggung jawab. Ayat-ayat kemanusiaan adalah aturan tentang sikap saling menghargai sesama makhluk menurut ukuran dan kepentingannya. Sikap menghargai itu dengan tidak melecehkan, menyudutkan hak orang apalagi menganiayanya.
Tragedi itu meninggalkan luka yang panjang bagi ruang kehidupan berpolitik, berdemokrasi dan bermasyarakat. Riskannya lagi, luka itu semakin panjang manakala keluarga, kerabat dan sahabat almarhum Azis Angkat terbawa dalam hayalan, lamunan dan kenangan. Tak mudah di lupa, tapi pasti bisa kita lupakan. Walau terus terkenang, tapi hati tetap tenang.
Hapuslah duka kita walau kenangan sulit terhapus. Tegakkan kenyataan dengan sikap kesabaran dan keteguhan hati untuk tidak bertindak naif. Berikan kesempatan hukum meneliti atas segala pertanggungjawaban perilaku anarkis. Hukum sedang bekerja mengumpulkan bukti dan mengejar tersangka. Sorot mata hukum kini sama tajamnya dengan sorot mata publik. Tak satu kerdipan terlewatkan dalam sorotan mata hukum, sebab aktor anarkis terus menjadi prioritas hukum.
Hindari banyak bicara, biarkan hukum yang berbicara. Janganlah obral bicara karena hukum sedang berbicara. Hukum tidak mencari ”kambinghitam”, tetapi hukum sedang mencari tersangka. Biarkan hukum menginvestigasi keadaan, hindari keadaan menginvestigasi hukum.
Menahan Diri
Kini tersangka demo anarkis 3 Februari 2009 mulai tersangkut dengan jeratan hukum. Terali besi hukum sudah menahan sejumlah tersangka. Jumlah tersangka terus bertambah, karena hukum tak ada kompromi dengan pelaku anarkis. Kita harus menahan diri dengan menjaga ketenangan sosial. Menahan diri adalah bagian dari perilaku santun yang menyadari ayat-ayat kemanusiaan.
Kini hukum sedang mengembangkan pelidikannya. Temuan hukum menjadi bukti bahwa pelaku demo anarkis dan aktornya akan dijerat dengan unsur tuntutan hukum pula. Janganlah masyarakat mendahului menghukum sebelum lembaga hukum menjatuhkan keputusannya. Keputusan hukum harus kita hargai sepanjang kita masih membutuhkan hukum itu sendiri.
Kita dampingi Sumatera Utara dengan program pembangunan yang sedang berjalan. Kita hampiri Sumatera Utara dengan senyuman karena masih panjang lagi agenda pemerintah terhadap warganya. Jauhkan sikap marah yang tak beralasan, dekatkan rangkulan kepada pemerintah untuk meneruskan visi pembangunan. Hukum sedang bekerja menelusuri kasus anarkis, maka biarkanlah proses itu. Pemerintah sedang berbuat agar warga hidup sejahtera, maka dukunglah ia.
Hindari pernyataan yang sifatnya memicu permusuhan, tetapi lontarkan pernyataan yang sifatnya memacu persatuan. Perkataan yang kasar situasi menjadi gusar, berkatalah lembut maka keadaan tidak semrawut. Mari telusuri jalan kehidupan kedepan, sekaligus mempersiapkan bekal pembangunan untuk anak cucu kita, jangan lagi kita sibuk mengkoreksi pekerjaan orang lain, tapi berbuatlah sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Medan, Februari 2009
P E N U L I S

Drs. SAFWAN KHAYAT M.Hum

Penulis, Alumni SMA Negri 1, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pasca Sarjana USU Medan. Email; safwankhayat@yahoo.com


Selasa, 10 Februari 2009



Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji’un
Selamat Jalan Sahabat Ku !!


Pagi itu sang surya menghembuskan kehangatan tubuhnya menyinari bumi dengan terang benderang. Ku lihat dengan jelas tak ada tanda-tanda gumpalan awan hitam dan hembusan angin yang bakal mengundang hujan, dan ku pastikan pula bahwa hari ini adalah hari yang cerah dan menyenangkan.
Hari itu adalah hari pertama ku bertugas resmi menduduki jabatan baru sebagai Kepala Seksi Sarana Angkutan (Kasi Sarang) Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Aku kembali ditugaskan di Medan setelah 15 bulan aku “nongkrong” di Pematang Siantar menjabat Wakapolresta. Saat itu kami sedang rapat bersama pimpinan mendiskusikan situasi lalu lintas yang berkaitan dengan harapan, kenyataan dan tantangan. Tak sedetik pun tersisa, kami manfaatkan ruang diskusi dengan uraian analisis dan modus pemecahan masalah agar situasi lalu lintas di Sumatera Utara berjalan tertib, aman, dan lancar.
Diskusi pun terhenti sementara di saat suara azan bergema memanggil nurani kami untuk beranjak duduk menuju Mesjid berdiri megah di kantor ku. Aku basuhi tubuh ini dengan air wudhuk agar fikiran ku basah dengan gagasan, ku takbirkan kebesaran Ilahi dengan shalat agar hati ini dijauhi dari nafsu dengki. Munajat doa tetap ku sampaikan agar sang Khaliq selalu meridhoi aktifitas ku dan cerahnya masa depan Negara ku.
Selepas itu, aku dan teman-teman kembali ke ruang diskusi guna melanjutkan agenda yang tadinya tertunda. Berselang 15 menit kemudian tepatnya pukul 13.45 WIB, telepon seluler ku bergetar dengan menuliskan pesan singkat yang ku nilai hanyalah buwalan, bongak atau iseng belaka. Isi pesan singkat tertulis ; “Innalillahi wa Inna Illaihi Roji’un, Azis Angkat Ketua DPRD SU tewas dikeroyok demonstran massa Protap”.
Awalnya pesan singkat itu tak ku gubris, tapi terhitung 2 menit berikutnya pesan singkat itu datang lagi dari nomor berbeda dengan tulisan : bang Safwan, kawan abang Ketua DPRD SU Azis Angkat tewas dibantai massa Protap”. Aku mulai ragu, goyah dan ingin cari tahu kebenarannya. Tapi ada daya ku, sebab aku masih harus mengikuti seluruh agenda diskusi yang sedang berjalan di kantor ku. Tangan ku pun gatal bermain SMS mengejar informasi tadi guna mencari tahu kepada rekan sejawat dari kalangan wartawan yang bertugas di DPRD SU. Ternyata jawabannya, “betul bang Safwan, sahabat abang telah berpulang kepangkuan-Nya”.
Pesan singkat yang terakhir sontak membuat tubuh ku lemas, keringat dingin mengucur deras, fikiran ku kacau, emosi ku memuncak dan perasaan semakin tak menentu. Ingin ku tinggalkan rapat demi mengejar pembaringan terakhir sahabat terbaik ku itu. Andaikan aku disampingnya, tubuhnya pasti kulindungi dari ganasnya demonstran yang tak berprikemanusiaan itu.
Ku akui, berita itu telah merenyuhkan hati ku. Aku kehilangan sahabat yang santun, teguh pendirian dan loyal berteman. Aku tak percaya kalau nasib sahabat ku begitu tragis melayang ajalnya oleh kesadisan massa demonstran. Aku marah dan benci kepada mereka yang begitu tega menghakiminya dengan kekerasan, penganiayaan dan pembunuhan.
Masih jelas suaranya di saat beliau menanyakan kabar keadaan ku. Sulit ku lupa tatkala nasehatnya yang selalu melingkari fikiran ku. Masih segar dalam ingatan ketika dia mengatakan jadilah seorang polisi yang dekat dengan masyarakat. Semua itu menjadi kenangan yang tak mungkin terlupakan.
Jika ku turuti emosi ini, ingin remukkan orang-orang yang berhati sadis yang telah merenggut nyawa sabahat ku. Aku tak rela sahabat ku tewas mengenaskan. Aku tak ikhlas sahabat ku ternaiaya hanya karena nafsu serakah, syahwat politik dan syahwat kekuasaan yang tidak dilandasi nilai kemanusiaan. Pemaksaan kehendak dengan sikap anarkis apalagi dengan merencanakan menghilangkan nyawa orang merupakan perilaku yang naïf, sadis, brutal dan zalim.
Dalam takziah aku berdoa; Ya Allah, ampunkan kesalahannya, terimalah amal kebajikannya, tempatkanlah ia di sisi Mu dengan keridhaan Mu. Ya Allah, kuatkan hati kami untuk menerima kenyataan ini, lapangkan fikiran kami untuk menebus segala kelemahan ini, dan teguhkan hati kami untuk menjaga keutuhan persaudaraan ini”.
Walau terasa pahit tapi aku harus terima kenyataan ini. Ku pasrahkan semua ini kehadirat Ilahi agar orang yang zalim itu mendapatkan ganjaran yang setimpal. Ku serahkan kepada hukum, agar keadilan ditegakkan dengan menjatuhkan hukuman yang setimpal pula.
Kepada keluarga yang di tinggal pergi, memang berat rasanya mengarungi kehidupan ini tanpa didamping orang yang selalu kita kasihi ,dan selalu mengasihi kita namun Tuhan sudah mengatur jalan kehidupan umat ini dan ia lebih mengetahui segala yang direncannakanNya. Aku yakin sahabatku almarhum pasti sudah membekali keluarganya tentang kesabaran dan menerima keadaan.
Harapanku kepada anak anak dari sahabatku, teruslah berjuang mengejar cita-citamu sesuai harapan dari almarhum. jangan pernah berhenti walaupun perjuangan almarhum sudah terhenti, nafasilah perjuanganmu dengan semangat hidup yang tinggi, semoga apa yang menjadi harapan dari almarhum terwujud.
Aku yakin perasaan ini sama dengan sahabat almarhum yang lain. Tetapi kita adalah menganut azas Negara hukum (praduga tidak bersalah) junjung tinggi hukum demi penegakkan keadilan . Kita percayakan institusi hukum mengusut tuntas kasus ini agar massa anarkis itu dijerat dengan hukum pula.
Aku berpesan kepada sahabat-sahabat semua, sekalipun berat tapi jangan kita turuti emosi diri. Jangan paksakan kehendak dengan curahan luapan emosi yang mengkerdilkan fikiran. Luapilah aspirasi dengan cara budaya bangsa yang santun, tertib, rasional dan manusiawi. Jangan ada lagi kekerasan, penistaan dan pengrusakan. Kau mau aku pun mau, tetapi mau itu lakukan sesuai dengan kemauan kita semua. Semoga kita belajar dari keadaan ini. Amiin yaa rabbal alamin !!

Medan, 11 Februari 2009


Drs Safwan Khayat M.Hum


Penulis, Alumni SMAN Neg I Medan dan Dosen UMA, Alumni Pascasarjana USU. Email; safwankhayat@yahoo.com

Minggu, 01 Februari 2009


Aku Bukan Pejabat,
Tapi Seorang
Sahabat

Kado Kenangan Buat Siantar Ku

Matahari terbit di ufuk timur menyinari bumi yang berputar seiring tanpa melalaikan sedetik pun rotasi jarum waktu. Sebuah kata pujian terucap rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah membentangkan hamparan bumi dengan gunung tinggi sebagai tiangnya, sungai dan laut sebagai penyuburnya dan daratan yang luas dengan segala isi ciptaan-Nya. Semua ini terjadi atas Kuasa-Nya yang setiap hari kita rasakan dan jalani selaras dengan denyut nadi, jantung dan jam kehidupan. Karunia-Nya tak akan bisa kita bayar kecuali wujud penghambaan diri kepada-Nya dengan sadar, tulus, ikhlas dan rendah diri.

Semua ini dilalui tanpa terasa 15 bulan sudah aku jejakkan tapak kaki ini di sebuah kota tempat aku mengabdi kepada Negara sebagai penegak hukum, pengayom dan pengabdi masyarakat. Di kota itu, berjuta pengalaman, kenangan dan cita berpadu dalam sebuah memoriam betapa diri ini telah menyatu dalam rajutan persahabatan. Tatkala ku alurkan fikiran ini, mereka merespon ku. Tatkala ku langkahkan kaki ini, mereka menyambut ku. Manakala ku lepaskan seluruh eksistensi ku, mereka menyapa ku dengan sapaan sahabat. Tak ku hitung berapa sudah waktu, fikiran dan tenaga yang teruai, sebab semua itu sangatlah tidak pantas untuk di hitung. Tetapi berjuta kenangan nyaris terhitung bersama warga, karena kenangan inilah yang pantas ku hitung.

Oh Siantar ku !! Darah yang setitik, rambut setiap helai, jantung yang berdetak dan dengusan nafas kehidupan menemani ku dalam suka, duka, durja dan canda tawa. Walau aku jauh dari keluarga ku, tapi Siantar ku selalu menemani tugas ku. Kau lah sahabat ku, mitra kerja ku, saudara ku, guru ku dan inspirasi ku.

Walau aku pernah menyapa mu dalam tugas waktu dulu (saat itu Kaur Regiden Satlantas Polres Simalungun 1999 – 2002) tapi tatkala aku kembali ditugaskan di tahun 2007-2008 (Wakapolresta P Siantar) kau telah menyentuh kalbu ku. Kau ajak aku pada pagi yang menggairahkan dengan dinamika Siantar, tapi kau hembuskan angin malam dengan kesejukan dan keakraban. Kita melebur menjadi satu kekuatan yang memberangus kehampaan dan kepura-puraan karena kita landasi dengan niat keikhlasan.

Siantar bagaikan Medan kota kelahiran ku tempat berkumpul keluarga, sahabat, guru dan siapa saja. Sulit aku bedakan walau akhirnya aku harus jujur membedakannya, bahwa Siantar adalah Siantar, Medan ya tetap Medan .

Ku sadari, fikiran ku kacau ketika ku paksakan diri ini berpisah dari mu. Jantung ku lemah dengan denyut nadi yang tak normal, sebab aliran darah persahabatan kini teruji dipisah oleh ruang dan waktu. Kaki ku gemulai meninggalkan kenangan Siantar yang telah kita rajut bersama-sama. Dada ku sesak, bibir bergetar berat seiring dengan geraian air mata yang mulai menumpuk di dua bola kornea mata ku. Tubuh besar ku gemetar bagai kehilangan energi hidup yang mengiris-iris seluruh persendian anatomi ku. Dalam bathin ini aku menangis sembari ku sisipkan doa ;
“Ya Tuhan, aku bersyukur atas anugrah dan karunia Mu, ku tundukkan kepala ku hanya semata menyembah Mu. Ku tengadahkan tangan ku hanya semata bermunajat atas keridhaan Mu. Ku geraikan persaaan ku, karena kepada Mu lah tempat ku mengadu”.

“Ya Tuhan, aku hina karena Engkau Penguasa. Aku bukan penguasa, sebab aku manusia durja di mata Mu. Aku bukan pejabat, tapi aku sahabat mereka. Aku adalah mereka, sebab mereka adalah aku. Jangan kau cabut ridho Mu, sebab aku terus merindukan ridho Mu”.

Masih ku ingat bekas piring sarapan pagi ku di warung Kok Tung, gelas air minum ku di warung pinggiran yang ditaburi abu jalanan, kolam pancing tempat ku berdialog dengan alam dan tempat mejeng ku bersama teman-teman Bikers Mitra Polri (BMP) dengan sepeda motor butut tua merk Honda C-90 rakitan tahun 1970-an.

Sulit ku lupa “tamparan” kritis sahabat ku yang mereka tuliskan melalui tinta pena jurnalisme. Mereka “dor” aku dengan senapan jurnalisnya, mereka tampilkan foto ku bagaikan aku seorang bintang Hollywood kelahiran Anak Medan. Mereka tulis prestasi institusi ku dengan jiwa persahabatan dan keikhlasan. Mereka protes aku dengan suaranya yang kritis, sok tahu dan sedikit lantam tapi aku suka.

Renyuh hati bila ingat saat aku nyantri bersama warga dan sahabat ku di sebuah pesantren yang mengajarkan kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan. Sungguh sebuah tampilan hidup yang menggambarkan kehidupan surgawi yang diajarkan guru ku pimpinan pesantren Darussalam KH Muhammad Bakri LC (yang akrab kami sapa Abun). Ulama kharismatik ini memiliki stereotype yang rendah hati, bersahaja, wara’, berani dan cerdas. Dada ku basah karena disirami kalimah zikir yang diajarkannya, otak ku encer dibaluti rentetan pertimbangan yang rasional darinya. Begitulah Abun ku hormati yang selalu menasehati kata hikmah menghujam persis tepat ke sanubari ku.

Masih teramat banyak bila ku uraikan jutaan kenangan Siantar ku. Tinta pena ini pastilah tidak cukup bila seluruhnya tumpah dalam gundah ku. Tetapi ku yakini bahwa setiap huruf yang keluar dari bibir pena tersimpan cerita indah yang ku simpul dalam resapan hati ku ini.

Jujur saja, hati berat menerimanya, tetapi aku harus tunduk dan patuh kepada Negara. Sebab Negara adalah milik kita, harapan dan masa depan kita. Kota tidak memisahkan persahabatan kita, sebab kota hanya memisahkan ruang dan waktu saja. Aku harus memenuhi tugas baru yang dipercayakan Negara kepada ku. Aku kembali ke kota kelahiran ku demi memenuhi rasa abdi ku kepada Negara. Bila jembatan hati ini terus terajut maka kita dapat menembus ruang dan waktu yang terpisah ini. Jembatan hati yang kita rajut bagaikan anyaman kain dipintal dengan jutaan helai benang. Semakin dirajut semakin kuat, padat dan indah, apalagi di hiasi dengan sentuhan persahabatan dengan corak warna kelembutan fikir dan zikir.

Siantar ku !! Tetaplah kita berfikir melahirkan inovasi yang berguna bagi peradaban kota , dan selalulah berzikir agar keridhaan Tuhan menyertai inovasi fikir kita. Jika kita selalu menggunakan fikir dan zikir, ruang dan waktu itu pasti akan menyatukan kita kembali.

Kita tidak boleh larut dalam kesedihan, sebab kesedihan yang larut menjadi penghalang gerak perjuangan. Perjuangan kita masih panjang demi mengabdi pada agama, nusa bangsa dan Negara. Mari kita jaga kota dengan kedamaian, keakraban dan rasa saling menghargai tanpa harus melukai sekalipun tajam terkatakan. Terimakasih Siantar ku, sahabat ku, mitra ku, saudara ku dan salam hormat buat guru ku. Inilah kado terindah yang bisa ku ucapkan sebagai bentuk kenangan bersama Siantar ku. Kini ku yakni diri ku, dan kau pun telah meyakini ku, bahwa Aku Bukan Pejabat, Tetapi Seorang Sahabat.

Drs. Safwan Khayat M. Hum
*PENULIS, Alumni SMA Neg.I Medan, UMA dan Dosen UMA, Alumni Pasca Sarjana USU, Mantan Kasatlantas Poltabes MS, Mantan Wakapolresta P Siantar. Email; safwankhayat@yahoo.com.

Derita bathin sang pohon.

Andai Pohon Bisa Bicara












Derita Bathin Sang Pohon !

Kami hanyalah makhluk lemah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kami bersujud kepada Tuhan yang menciptakan seluruh isi alam dengan hutan rimba yang menyejukan, laut yang luas dan dalam serta ruang kehidupan yang tak berujung dalam lingkaran bumi yang bulat. Kami dan engkau (manusia dan hewan) adalah hamba-Nya yang sama-sama menghuni bumi ini dengan batas waktu yang telah ditentukan. Kami dan engkau saling melengkapi agar Sunnatullah berjalan menurut qadar dan iradat-Nya.
Peran kami dan engkau tentulah berbeda, sebab kami memiliki keterbatasan gerak dan kesempatan. Engkau bisa bergerak kemana saja memperturuti hawa nafsu dan akal mu, tetapi kami hanya berdiri, bertahan dan berharap semoga kami dipelihara lalu diperhatikan demi kelangsungan hidup selanjutnya.
Kami bantu kesejukan alam ini dengan hembusan nafas zat HO2 dan O2 serta jutaan elektron ion kehidupan dari tubuh kami. Kami lenggokan kemolekan tubuh ini dengan lambaian dedaunan nan hijau penuh kelembutan manakala angin menyapa dengan hembusan persahabatan. Kami lindungi sekitarnya dengan hawa kesejukan tatkala sang Matahari betapa “sombong” menunjukkan kehebatan panasnya.
Tidak terhitung berapa banyak jenis kami yang dibabat oleh pembalakan liar di kawasan tempat kami hidup. Tubuh kami “dijajah”, dieksploitasi dan diperjualbelikan demi mengejar keuntungan duniawi yang tidak berbias bagi diri kami. Kami dijadikan komoditi yang mampu menembus pasar domestik dan internasional yang ditukar dengan nilai mata uang sesuai dengan ukuran tubuh dan berat badan kami. Kami diperdagangkan demi semata mengumpulkan kekayaan yang tak pernah kami nikmati sedikitpun. Padahal, kami hanya membutuhkan setitik air kehidupan yang menyirami dan membasahi tubuh kami agar ruang kehidupan duniawi tidak kering, panas, tandus dan menjengkelkan. Jikalau kami minta lebih dari itu, semisal pupuk atau sejenisnya, itupun tidaklah berlebihan bila dibandingkan dengan keuntungan materi yang diperoleh dari diri kami.
Kami dijadikan komiditi ekonomi dengan pola ragam bentuk yang dapat menghasilkan karya seni. Dengan kehebatan teknologi, kami bisa di pola menjadi kursi, meja, pintu, lemari, spring bed, kotak obat, perangkat keras rumah, pendopo dan entah apa lagi. Teramat banyak yang bisa dihasilkan dari tubuh kami sehingga kami menjadi bahan rebutan dengan segenap peluang dan tantangan yang ada.
Kami bersyukur kepada Tuhan Yang Menciptakan kami dapat memberikan yang terbaik bagi sesama makhluk di luar tubuh kami. Dedaunan yang memperindah penampilan kami membawa manfaat bagi sebagian hewan yang dijadikan sebagai makanan pokok mereka. Bahkan, beberapa spesies dari jenis kami, daunnya bisa memiliki khasiat yang luar biasa guna menyembuhkan beberapa jenis penyakit manusia.
Tetapi, rasa syukur kami kepada Tuhan adakah berbalas dengan mensyukuri segala kebesaran Sang Ilahi yang menciptakan seluruh hamparan bumi dengan kekayaan yang terkandung didalamnya ? Adakah rasa syukur itu diwujudkan dengan perhatian menjaga lingkungan yang serta merta sama pula menjaga diri kami ? Sesungguhnya, penderitaan kami semakin membekas jikalau kami dieksploitasi terus menerus.
Tak cukup komoditi ekonomi, kami pun dijadikan hiasan politik oleh engkau yang berpesta demokrasi. Tubuh kami kembali dieksploitasi demi memperlihatkan ribuan foto close up dengan senyuman, wajah yang penuh harap, jutaan kata ajakan menempel di seluruh tubuh kami. Tubuh ini terasa berat menangung beban ribuan gambar-gambar itu. Belum lagi tajamnya paku yang menancap di tubuh kurus ini hingga melukai dan berdarah.
Mungkin sudah nasib bagi kami yang berada nun jauh dari mata, dimana kami tumbuh dan subur jauh dari amatan dan sentuhan di rimba sana. Kami yang berada di kota dengan dengan kelopak mata, engkau nyaris sia-siakan kami. Hampir tidak tersisa setiap tubuh kami di sepanjang jalanan kota dan luar kota bergantungan wajah-wajah mu. Selagi masih ada tempat di atas batang tubuh ini, engkau tanjapkan wajah mu di atas wajah ku. Kesalnya lagi, tak jarang sebagian anggota tubuh kami dipotong agar wajah manis mu dilirik orang lain. Padahal jujur saja, kami juga ingin tampil indah agar dilirik orang lain.
Heran..!! Apa sih salah kami? Mengapa kami harus berbaik hati sementara engkau sedikit pun tak pernah menyirami tubuh ini? Pernah engkau perhatikan kami tatkala kerongkongan ini kering dan haus ? Ingatkah kau kepada kami ketika keinginan mu terwujud ? Bisakah engkau kembalikan keindahan tubuh kami setelah semua ini berlalu ? Atau engkau biarkan saja foto diri mu menempel terus menutupi wajah kami ?
Yah !! mungkin sudah nasib kami yang selalu dieksploitasi. Kami hanya pasrah menanti waktu, hari dan musim yang pasti kami jalani. Kami hanya sebatang pohon bisu yang tertindih oleh kerasnya kehidupan manusia sesuai zamannya. Keuntungan ekonomi dan obsesi politik melengkapi penderitaan kami. Semua tak berbalas, sebab kami tidak pernah meminta balasan. Kami hanya menangis dan terus menangis seraya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Penyayang ;
“Tuhan, gerakkan hati dan fikiran mereka agar peduli lingkungan dengan menjaga sesama ciptaan-Mu. Tuhan, Kau Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Jangan Kau jatuhkan keputusan azab-Mu hanya karena mereka rusak ciptaan-Mu sebenarnya mereka tidak mengetahui apa yang sudah mereka lakukan itu adalah salah . Sebab kami yakin, tidak ada yang lebih tinggi dari Mu”. Kepada Mu kami menyembah, dan kepada-Mu juga kami mohon pertolongan”.
Kami berharap dan terus berharap agar persahabatan kita dapat terjalin. Kami dan engkau saling melengkapi di setiap detik putaran waktu bumi. Persahabatan abadi ini wujud kepedulian kita kepada alam yang dititipkan Sang Ilahi.
Sayangi kami, sebagaimana kami menyayangi mu. Mari kita saling melengkapi dengan menjaga hubungan sesama makhluk hidup. Terimakasih kami ucapkan kepada engkau sahabat kami yang menyapa alam dengan ramah, peduli dan mau mengerti.

Medan, 28 Januari 2009

Drs. Safwan Khayat M.Hum

*Penulis, Alumni SMA Negeri 1 Medan, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pascasarjana USU. Email; safwankhayat@yahoo.com