Minggu, 11 Mei 2008

Hadirnya Calon Independen


Akhirnya kehadiran calon perseorangan untuk berlaga dalam pilkada diakui sudah. DPR dan pemerintah menyepakati kehadiran calon independen melalui revisi UU No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah. Telat tetapi itulah fakta dan fenomena politik di Indonesia. Tidak mudah menghadirkan pembaruan yang baik, sekalipun karena terlalu banyaknya kepentingan yang berada di dalam suatu masalah. Ambil contoh mengenai penetapan calon perseorangan ini. Keputusan MK atas hal ini sebenarnya sudah lama disampaikan. Namun untuk memulai pembahasan kala itu, kelihatan sekali ada keengganan di kalangan politisi kita. Kehadiran calon independen dianggap sebagai gangguan bagi mereka yang terlebih dahulu memiliki kemapanan melalui parpol untuk diusung sebagai Kepala Daerah dan Wakilnya. Sebelumnya memang untuk bisa dicalonkan sebagai Kepala Daerah dan Wakilnya, seseorang tidak dapat melakukannya tanpa kendaraan. Hal ini dilatarbelakangi oleh semangat untuk meningkatkan peran parpol pasca pemberangusan di masa Orde Baru.
Pada praktiknya, semangat untuk menghadirkan peran parpol tersebut dengan lebih baik diterjemahkan berbeda. Setiap calon yang hadir melalui parpol ternyata lebih sering menjadi sapi perah parpol. Selain harus membayar sejumlah biaya (ongkos politik), mereka juga tidak kerap membawa misi kepentingan parpol. Padahal ketika sudah menjadi Kepala Daerah, mereka seharusnya adalah milik masyarakatnya. Itu sebabnya ketika calon independen diputuskan oleh MK ada semacam ”teguran” halus kepada parpol di dalamnya. Parpol dianggap sudah tidak kapable lagi untuk membawa misi kepemimpinan di masyarakat, selain dari pencalonan kadernya sendiri. Kelak Kepala Daerah dan Wakilnya yang diusung oleh parpol adalah kader parpolnya sendiri, yang harus dibesarkan dan dibentuk supaya berkualitas pemimpin, bukan kader karbitan bermodalkan uang.
Selain itu, kehadiran calon independen adalah pengakuan atas keadilan dalam berpolitik dan berdemokrasi. Calon independen adalah saluran bagi masyarakat yang kebanyakan tidak punya peluang untuk menjadi Kepala Daerah atau Wakilnya. Bagi mereka, keadilan dalam berpartisipasi jelas sangat terbuka asalkan memperoleh dukungan minimal 3 sampai 6,5 persen pada awalnya.
Memang, proses pembahasan mengenai calon independen ini tidak mudah diselesaikan oleh DPR. Tarik menarik kepentingan termasuk kompensasi atas diterimanya pasal ini adalah sebuah rahasia umum. Ada isu yang berkembang bahwa diterimanya pasal mengenai calon independen oleh DPR berakibat pada berbagai pasal lain di dalam UU yang sama, termasuk penundaan keluarnya aturan pelaksana oleh KPU.Namun sebagai sebuah produk politik, keberadaan calon independen juga bukan berarti bebas dari kepentingan. Untuk menjadi calon independen jelas dibutuhkan penggalangan dana yang sangat besar. Mengingat dukungan yang sangat besar diperlukan, maka calon independen harus memiliki modal yang sangat tidak sedikit.
Ada risiko bahwa calon independen adalah mereka yang menjadi alat bagi mereka yang ingin mencuci uang(money Laundring) atau kejahatan hitam lainnya, atau mereka yang juga punya kepentingan terhadap sosok tertentu. Hal ini jelas juga bisa menjadi masalah kelak. Karena itu, sosok calon independen tetap harus dikritisi dan dijadikan sebagai eksperimentasi demokrasi yang lebih baik, bukan justru untuk memperburuk hasilnya.Bagaimanapun, meski di Sumut sudah telat, kita berharap bahwa kehadiran calon independen akan membawa semangat baru dan etika baru dalam berpolitik di negeri ini. Semuanya demi kepentingan masyarakat yang terkadang mulai jenuh dengan praktik politik yang sangat parpol sentris.

Tidak ada komentar: